Cerita Inspirasi: Titipan Terakhir (bag 3)


          
          Sebenarnya rasa ku pada Arinda sudah tak ada lagi. Mungkin sekarang, secara tak kusadari, aku hanya menaruh rasa kasihan padanya, dan bukan cinta seperti dulu. Beruntai-untai cerita yang telah kami bangun bersama-sama, terasa hilang tak berbekas karena kehadiran Febi dalam hidupku. Bersama Febi, aku lebih merasa berarti, indah dan bercerita. Sangat berbeda jika dibandingkan dengan Arinda.
Dengan cepat kumatikan handphoneku agar Arinda tak menelfon lagi yang mungkin akan menggangguku bersama Febi lagi. 

          “Kamu dari mana, Ta?”

          “Engg, ngg, mama yang nelfon. Katanya kalo pulang jangan kemalaman.” Jawabku agak gugup.

          Febi terlihat semakin cantik saja malam ini. Jantungku berdetak hebat, keringat dinginku mulai membasahi bajuku. Aku rasa ini adalah waktu yang tepat untuk menyatakan cintaku dengannya. Semangatku menggebu-gebu tapi mulutku tak sejalan seperti yang kumau. Diam dan bisu.

          Kulihat dia sedang asyik mendengarkan musik dari handphone-nya sambil memejamkan mata. Ia semakin elok saja di mataku. Wajahnya putih dan bersih, rambutnya yang panjang dan hitam terurai lembut dipermainkan oleh angin malam yang sesepoi. Jemarinya panjang dan indah, lembut tak terbayangkan rasanya. Serta harum badannya yang selalu saja membuatku mabuk kepayang melayang-layang.

          Kuusahakan sekuat tenaga untuk mengumpulkan kepercayaan diriku. Sekarang sudah jam 10 malam, semakin aku membuang waktu, semakin sedikit kesempatanku untuk menyatakan cintaku padanya malam ini.
          Dengan sikap yang lembut, aku memegang tangannya. Ia agak kaget dengan ulahku itu. Segera kulepaskan earphone yang masih menempel di telinganya. Ia menurut saja.

          “Engg...Feb, kamu seneng gak jalan sama aku?” Aku memulai pembicaraan dengan suara yang terbata-bata. Ia berusaha tersenyum melihatku, tapi tetap terdiam dalam kebingungannya.

          “Aku hanya ingin kita lebih dekat lagi, Feb. Bukan hanya sekedar teman biasa. Menurutku kamu itu spesial banget. Mau gak kamu jadi pacar aku?”

          Kurasakan tangannya basah oleh keringatnya sendiri. Tapi, ia semakin menggenggam tanganku lebih erat lagi. Badanku bergetar hebat menanti satu dua patah kata yang mungkin akan keluar dari bibir merahnya. Lama kami terdiam dan salah tingkah. Darahku mulai terasa panas.

          “Aku juga sayang kamu, Ta.”

          Cukup. Hanya itu yang diucapkannya.  Aku segera berdiri dan mendekatinya. Kucium keningnya dan kupeluk tubuhnya hingga terasa aroma badannya. kurasakan juga degup jantungnya yang semakin cepat. Terdengar sayup-sayup alunan lagu “Fall For You”-nya Secondhand Serenade dari earphone yang tergeletak di atas meja, begitu melarutkan kami ke dalam kesyahduan yang tak terkira indahnya.

          “Sayang, makasih ya. Malam ini kamu telah menjadikanku orang yang sangat sempurna di dunia ini.” Kubisikkan kata-kata manis itu ketika kami telah sampai di depan rumahnya. Kupeluk dan kali ini kucium bibirnya yang hangat.

                                                                                            @

          Hari ini aku jalan-jalan keliling kota dengan Febi. Tak terasa sudah sebulan kami menjalani hubungan yang romantis ini. Hingga aku tak begitu memedulikan Arinda lagi. Toh juga Arinda jarang menelfonku. Paling cuma dua kali saja, itupun pembicaraan kami sangat cepat. Yang ada dipikiranku saat ini hanyalah nama Febi, gadis cantik dengan bodi yang aduhai.

          Setelah merasa lelah, aku dan Febi singgah di pinggiran pantai. Kami memesan soft drink dan sepiring kentang goreng. Suasana tambah romantis saja, ditemani dengan garis-garis cahaya jingga matahari yang menelusup di sela pondasi-pondasi kayu dan diiringi dengan alunan suara lembut sang penyanyi cafe yang membawakan lagu “I believe I can Fly”-nya Bruno Mars. Begitu merdu dan memeranjat kami berdua ke dalam jurang romantisme. 

          Berkali-kali aku merasa handphone-ku bergetar. Sengaja ku silent agar tak mengganggu. Aku mengacuhkannya.

Artikel Terkait

0 komentar: