Jujur saja aku merasa gerah. Hubungan ini
terasa biasa-biasa saja dan kuanggap ini hanyalah cinta monyet. Yang kurasakan
sudah tak ada sedikit pun sisi istimewa darinya. Kadang aku berfikir untuk
memutuskan hubungan ini, tapi aku tak sampai hati. Jujur saja dia adalah wanita
yang paling sulit aku dapatkan. Dia sangat pendiam dan sangat pintar. Lelaki
mana pun tak dapat begitu saja membaca hati dan pikirannya. Dia adalah wanita
yang baik, tetapi yang kukecewakan adalah dia sangat tidak kreatif, melankolis,
klise.
"Halo? Oh iya, Ma. Sebentar lagi kok. Ok!” Ia
segera menutup telfonnya dan memalingkan wajahnya ke arahku. Ketus. Dengan
cepat ia membereskan tasnya untuk segera pulang. Aku acuh.
“Kakak, gak pulang?” Tanyanya kepadaku yang
masih duduk menikmati secangkir cappucino-ku.
“Hmm, kamu duluan aja, ya. Aku masih pengen di
sini. Sayang nih cappucino-nya belum habis, he he he.” Jawabku kepadanya sambil
tersenyum kecut.
“Oke deh. Arin pulang duluan ya, Sayang.”
Bisiknya kecil sambil mencium pipi kananku. Dengan langkah yang terburu-buru ia keluar
dari kafe dan segera memanggil taksi.
Ini bukanlah hubungan yang ku mau. Tapi selalu
saja begitu. Seolah ia tak memikirkan kelanjutan hubungan ini. Aku acuh, dan
dia juga nampak acuh. Apakah ia juga merasakan hal yang sama denganku? Dan
kenapa aku dan dia harus mengalami hal seperti ini secara terus menerus?
Seharusnya ia menerima saja pinangan lelaki yang diberikan oleh orang tuanya
daripada harus menjalani hubungan bersamaku. Karena aku tak mau tersiksa
seperti ini. Jujur aku merasa sangat menyesal telah mengenalnya, dan aku sangat
ingin mengakhiri hubungan ini, tapi selalu saja mulutku tak bisa berkata
apa-apa di depannya.
Empat bulan telah berlalu. Dan hubungaku
dengan Arinda semakin kritis saja. Jujur karena aku telah menemukan sosok
wanita yang kuidam-idamkan sejak lama. Namanya Febi, teman SMP ku dulu. Selama
empat bulan ini aku merasa sangat bahagia bersamanya. Kami sering jalan bareng,
nonton di bioskop bareng, sekedar nyuci mata di Mall, serta ditambah wajahnya
yang semakin cantik sejak aku mengenalnya di SMP dulu, kulitnya putih dan
bening serta matanya yang masih sipit mempesona. Sontak konsentrasiku lebih
mengarah kepada Febi sekarang. Dan aku berhasil menutup hubungan ini dari
Arinda.
Sore ini aku dan Febi sedang menonton konser
dari band ternama. Suara bising tapi merdu terdengar memekikkan telinga di
lapangan yang telah dipenuhi oleh ribuan orang ini. Kami berdua melompat-lompat
seiring irama musik yang dimainkan. Dengan gayanya yang hanya memakai kaos biru
bertuliskan ‘What Would You Do?’ di bagian dadanya sehingga cukup membuat
otakku ngeres, dan dipadukan dengan celana pendek jeans yang agak tinggi dari
paha, mataku tak bisa berpaling darinya. Sungguh ia sangat cantik sore ini. Aku
merasa sangat beruntung bisa menjalani hubungan dengannya yang merupakan sosok
modis tapi romantis.
Setelah merasa lelah tak terbayagkan dengan
peluh keringat yang cukup membasahi baju, kami istirahat sejenak di sebuah kafe
terdekat. Ia hanya memesan jus tomat belanda kesukaannya dan aku memesan
secangkir cappucino hangat andalanku. Dengan sedikit gerakan yang terlatih ia
mengusap wajahku yang masih penuh oleh keringat dengan handuk yang dibawanya
dari rumah. Aku agak kaget tapi ia meneruskannya saja. Dan dengan leluasa aku
mencium punggung tangannya yang halus dan dibalas oleh senyum dan tatapan
manisnya. Suasananya sangat romantis dan kami larut ke dalam suasana ini.
Tapi tiba-tiba handphone ku bergetar. Ternyata dari
Arinda. Aku berusaha menjauhkan diri dari Febi agar ia tak curiga.
“Halo? Ada apa sih nelfon tengah malam gini?”
Nada suaraku penuh dengan emosi karena ia telah merusak suasana romantisku
bersama Febi.
“Enggak kok, Sayang. Aku cuma kangen banget
sama kamu.” Terdengar suaranya terisak dan serak. Jujur saja selama empat bulan
ini aku sangat jarang bertemu dengannya dengan alasan aku mempersiapkan ujian
masuk kuliahku.
“Iya aku juga kangen sama kamu. Tapi aku sibuk
banget nih sampai gak ada waktu buat ngehubungin kamu. Gini aja, besok aku
telfon kamu lagi.Aku lagi capek nih.” Emosiku masih belum padam.
Yang
kuinginkan hanya agar Arinda segera menutup telfonnya dan aku bisa melanjutkan
suasana romantis ini bersama Febi.
“Iya, aku ngerti kok, Sayang. Aku cuma pengen
ngasih tau kalo hari ini adalah hari tiga tahun hubungan kita. Arin pikir kamu
ingat, jadi aku tunggu aja telfon kamu sampe malam gini, tapi ternyata kamu
yang lupa. Kamu istirahat aja ya biar kamu gak sakit.” Aku mendengar suara itu
seperti tangisan. Jujur saja aku merasa sangat bersalah pada Arinda karena
melupakan hari yang spesial ini. Aku lama terdiam. Tapi belum sempat aku
menenangkannya, ia menutup telfonnya.
~(Bersambung ke bag 3)
~(Bersambung ke bag 3)
0 komentar:
Posting Komentar