Cerita Inspirasi: Titipan Terakhir (bag 2)


          
          Jujur saja aku merasa gerah. Hubungan ini terasa biasa-biasa saja dan kuanggap ini hanyalah cinta monyet. Yang kurasakan sudah tak ada sedikit pun sisi istimewa darinya. Kadang aku berfikir untuk memutuskan hubungan ini, tapi aku tak sampai hati. Jujur saja dia adalah wanita yang paling sulit aku dapatkan. Dia sangat pendiam dan sangat pintar. Lelaki mana pun tak dapat begitu saja membaca hati dan pikirannya. Dia adalah wanita yang baik, tetapi yang kukecewakan adalah dia sangat tidak kreatif, melankolis, klise. 

          "Halo? Oh iya, Ma. Sebentar lagi kok. Ok!” Ia segera menutup telfonnya dan memalingkan wajahnya ke arahku. Ketus. Dengan cepat ia membereskan tasnya untuk segera pulang. Aku acuh.

          “Kakak, gak pulang?” Tanyanya kepadaku yang masih duduk menikmati secangkir cappucino-ku.

          “Hmm, kamu duluan aja, ya. Aku masih pengen di sini. Sayang nih cappucino-nya belum habis, he he he.” Jawabku kepadanya sambil tersenyum kecut.

          “Oke deh. Arin pulang duluan ya, Sayang.” Bisiknya kecil sambil mencium pipi kananku. Dengan langkah yang terburu-buru ia keluar dari kafe dan segera memanggil taksi.


          Ini bukanlah hubungan yang ku mau. Tapi selalu saja begitu. Seolah ia tak memikirkan kelanjutan hubungan ini. Aku acuh, dan dia juga nampak acuh. Apakah ia juga merasakan hal yang sama denganku? Dan kenapa aku dan dia harus mengalami hal seperti ini secara terus menerus? Seharusnya ia menerima saja pinangan lelaki yang diberikan oleh orang tuanya daripada harus menjalani hubungan bersamaku. Karena aku tak mau tersiksa seperti ini. Jujur aku merasa sangat menyesal telah mengenalnya, dan aku sangat ingin mengakhiri hubungan ini, tapi selalu saja mulutku tak bisa berkata apa-apa di depannya.

         Empat bulan telah berlalu. Dan hubungaku dengan Arinda semakin kritis saja. Jujur karena aku telah menemukan sosok wanita yang kuidam-idamkan sejak lama. Namanya Febi, teman SMP ku dulu. Selama empat bulan ini aku merasa sangat bahagia bersamanya. Kami sering jalan bareng, nonton di bioskop bareng, sekedar nyuci mata di Mall, serta ditambah wajahnya yang semakin cantik sejak aku mengenalnya di SMP dulu, kulitnya putih dan bening serta matanya yang masih sipit mempesona. Sontak konsentrasiku lebih mengarah kepada Febi sekarang. Dan aku berhasil menutup hubungan ini dari Arinda.

         Sore ini aku dan Febi sedang menonton konser dari band ternama. Suara bising tapi merdu terdengar memekikkan telinga di lapangan yang telah dipenuhi oleh ribuan orang ini. Kami berdua melompat-lompat seiring irama musik yang dimainkan. Dengan gayanya yang hanya memakai kaos biru bertuliskan ‘What Would You Do?’ di bagian dadanya sehingga cukup membuat otakku ngeres, dan dipadukan dengan celana pendek jeans yang agak tinggi dari paha, mataku tak bisa berpaling darinya. Sungguh ia sangat cantik sore ini. Aku merasa sangat beruntung bisa menjalani hubungan dengannya yang merupakan sosok modis tapi romantis. 

          Setelah merasa lelah tak terbayagkan dengan peluh keringat yang cukup membasahi baju, kami istirahat sejenak di sebuah kafe terdekat. Ia hanya memesan jus tomat belanda kesukaannya dan aku memesan secangkir cappucino hangat andalanku. Dengan sedikit gerakan yang terlatih ia mengusap wajahku yang masih penuh oleh keringat dengan handuk yang dibawanya dari rumah. Aku agak kaget tapi ia meneruskannya saja. Dan dengan leluasa aku mencium punggung tangannya yang halus dan dibalas oleh senyum dan tatapan manisnya. Suasananya sangat romantis dan kami larut ke dalam suasana ini.

          Tapi tiba-tiba handphone ku bergetar. Ternyata dari Arinda. Aku berusaha menjauhkan diri dari Febi agar ia tak curiga.

         “Halo? Ada apa sih nelfon tengah malam gini?” Nada suaraku penuh dengan emosi karena ia telah merusak suasana romantisku bersama Febi.

         “Enggak kok, Sayang. Aku cuma kangen banget sama kamu.” Terdengar suaranya terisak dan serak. Jujur saja selama empat bulan ini aku sangat jarang bertemu dengannya dengan alasan aku mempersiapkan ujian masuk kuliahku.

          “Iya aku juga kangen sama kamu. Tapi aku sibuk banget nih sampai gak ada waktu buat ngehubungin kamu. Gini aja, besok aku telfon kamu lagi.Aku lagi capek nih.” Emosiku masih belum padam. 

          Yang kuinginkan hanya agar Arinda segera menutup telfonnya dan aku bisa melanjutkan suasana romantis ini bersama Febi.

          “Iya, aku ngerti kok, Sayang. Aku cuma pengen ngasih tau kalo hari ini adalah hari tiga tahun hubungan kita. Arin pikir kamu ingat, jadi aku tunggu aja telfon kamu sampe malam gini, tapi ternyata kamu yang lupa. Kamu istirahat aja ya biar kamu gak sakit.” Aku mendengar suara itu seperti tangisan. Jujur saja aku merasa sangat bersalah pada Arinda karena melupakan hari yang spesial ini. Aku lama terdiam. Tapi belum sempat aku menenangkannya, ia menutup telfonnya. 

~(Bersambung ke bag 3)

Artikel Terkait

0 komentar: