Waktu yang Berbicara, Dialah yang Bijaksana


Kau bertanya, "apa yang kau rasakan ketika kau menutup matamu ketika langit sore ?"
Aku merasakan kebebasan, kebebasan yang mungkin hanya aku yang dapat merasakannya.
Namun kau mengelak dan berkata, "mengapa aku tidak ? Yang aku rasakan hanya semakin hampa dan sepi !"
Karena kau tak dapat merasakan kehadirannya.
Dan kau tetap pada pendirianmu. Keras ! "Aku merasakannya ! Tapi mengapa mereka hanya semakin lirih menerpaku ?".
Mungkin karena kau tak dapat menangkapnya.
Kau semakin penasaran atas jawabanku. Lantas kau bertanya lagi, "Apakah kau bisa menangkapnya ? Aku rasa tidak !".
Lalu hanya kujawab sekedarnya bahwa aku dapat menangkap keceriaannya.
Kau tetap bersikeras mempertahankan segala asumsi mu bahwa tak ada siapapun yang dapat melakukan hal itu, dan kau pun meminta pembuktian dari perkataanku.
Lalu kujawab, "hiruplah udara segar di sekelilingmu dan tahanlah agar mereka mengaliri saraf-sarafmu. Kemudian pejamkan matamu dan rasakan mereka membelai setiap sisi sepi mu. Tersenyumlah sejenak dan keluarkan musuh mereka secara perlahan-lahan melewati rongga-rongga tenggorokanmu hingga mereka lepas dan kau pun merasa semakin sejuk. Bila kau masih belum dapat menangkapnya, maka ulangilah !"

Berselang beberapa saat kau bertanya lagi, "kesempurnaan dalam bentuk apa yang kau cari pada wanita lain di luar sana ?"

Aku hanya bisa menjawab karena dia telah memiliki jiwanya. Dan dia lebih bangga menjadi dirinya.
Karena dia lebih memiliki prinsip hidup yang nyata, yang tak dapat digoyahkan oleh siapapun termasuk aku sendiri !
Apakah kau tak menyetujuinya ? Aku hanya bisa berkata bahwa kau belum mampu menjadi dirimu. karena kedewasaan alam fikiranmu belum terlalu matang.
Kau dulu terlalu lama kutunggu, hingga jiwa ini lelah dan telah terbiasa tak mendengar kabar darimu.
Ini adalah pembelajaran bagimu bahwa waktu tak akan bisa menunggu. Dan dia akan mengubah semuanya sesuai dengan hukum yang telah dipegangnya.

Waktu telah ber bijaksana denganku, dan aku pun ingin tetap berjalan beriringan bersamanya.

Tangisan Seorang Penyair





Aku, tak lebih dari sebutir pasir yang jatuh dari genggaman,
Tertinggal, terinjak, dan terabaikan.
Aku, selayaknya lumpur hitam,
Yang telah mengotori selembar kain putih.
Aku, adalah ombak di pantai berangin,
Yang selalu kejam memisahkan bebatuan dari pelukannya.
Jadi siapakah aku ?
Aku hanyalah seorang penyair yang memandang semuanya dengan air mata.
Sekilas seperti monodrama, tetapi inginnya bersama.
Tak sedikit pula yang menganggapnya fatamorgana, tetapi punya ketegasan asa.
Jadi apakah kau dapat menyimpulkannya ?
Jelas tidak !
Karena hanya aku yang dapat mengetahui siapa diri ini.
Di tangankulah jawaban dari puncak yang ku telusuri.
Dan hanya dengan kakiku lah sehingga aku dapat menentukan arah yang akan ku tuju.
Maka biarkanlah mataku tetap menatap langit yang jingga,
Yang menggambarkan betapa sedihnya dunia ini.
Dunia yang tak lagi begitu nyata bagiku,
Yang selalu terselimuti kepalsuan, dan  kebohongan.
Semuanya tak lebih dari drama-drama klasikal tua,
Dengan seorang sutradara yang penuh keangkuhan.

Ya, tertawalah ! tertawalah melihat dunia ini.
Dan kau telah menertawakan dirimu sendiri.
Aku hanya ingin menangis, tangisan yang kuharapkan terdengar oleh kalbu yang  gelap.
Aku hanya ingin terdiam, dan hanya dapat berkata dalam imajinasiku.
Dan aku hanya akan dapat tersenyum, bila waktu telah bijaksana menilai dan menjawab semua gundahku.

Her Name’s Wulan



         Satu nama yang sedari dulu amat kurindukan adanya. Wangi tubuhnya yang selalu membuat romaku berdiri. Desahan nafasnya yang lembut seakan membelai setiap sisi sepi kalbuku. Dia sahabat kecilku, dia yang kudamba, dia yang kutunggu, dan dialah yang terindah. Teringat senyumnya 11 tahun yang lalu sebelum aku pindah ke kota lain. Perpisahan yang tidak akan terlupakan di benakku, karena hari itu, langit mendung seakan menggambarkan suasana hatiku yang pedih, angin bertiup kencang ditemani bulir-bulir debu berpusar halus di sekeliling mobilku. Ranting-ranting pohon pun melambai sedih seperti tak merelakan kepindahanku dari desa itu. Terlebih hatiku, sangat merasakan kehilangan yang teramat mendalam karena kutahu aku akan kehilangan sosok itu, sosok yang telah mewarnai hari-hariku selama lima tahun bersamanya. Apakah dia juga merasakan seperti apa yang kurasakan saat itu ? aku tak tahu. Yang terpenting saat itu adalah bagaimana agar aku bisa mengucapkan satu dua patah kata perpisahan dan janji untuk bertemu kembali dengannya. Tapi apa dayaku ? seolah asaku telah pupus, aku pergi meninggalkan desa itu dengan air mata.
Bertahun-tahun sejak perpisahan itu, tanpa ada kabar dan pesan, berangsur-angsur memori itu menghilang. Aku tak memikirkannya lagi. Hari-hariku berjalan dengan biasa. Apapun yang kulakukan hanya terasa biasa. Semangatku terus berjalan dengan biasa saja.

LANTAS APA YANG TERJADI ?

       Dari yang biasa itu, akhirnya aku merasa ada sesuatu yang hilang dan amat dibutuhkan oleh diriku saat ini. Kucoba mencarinya, tapi tak kunjung kudapatkan juga. Hingga asa dan ragaku terasa lelah.
Disaat kurasa langit sore tak begitu indah lagi dan angin yang dulunya sejuk telah terasa hambar, aku berusaha terbangun dari mimpi buruk ini. Segera kuambil satu langkah terukur untuk memulai menemukannya kembali. AKAN KUCARI DIA, HINGGA KE DASAR DUNIA !
Aku terus berlari, terjatuh, berlari, jatuh dan lari lagi. Akhirnya di penghujung pencarian ini, aku menemukan apa yang kurindukan. Tingkahnya, sikapnya, senyum tawanya, dan kekanak-kanakannya seakan mengingatkanku kepada peri kecilku dulu. Semakin aku memperhatikannya semakin tak kusangka dia semakin memenjarakan hatiku. Parasnya yang anggun terselimuti oleh kerudung berwarna merah maroon cukup membuatku tak mengedipkan mata beberapa menit. Tubuhnya yang mungil ditambah penampilannya yang fantastis membuat jantung ini semakin berdetak kencang. 
DIA MENATAPKU ! matanya begitu indah seraya memberiku senyuman dari bibirnya yang merah. Aku terdiam dan terpana. Aku tak dapat bergerak lagi. Kakiku terasa berat seperti tertahan berton-ton batu gunung. 

DIA MENDEKATIKU ! rasanya aku tak dapat bernafas lagi. Keringat dinginku mengucur deras membasahi kerah bajuku. Aku salah tingkah dibuatnya. 

DIA INGIN MENYALAMIKU ! tak kuat aku mengangkat tanganku dan mata ini tak kunjung berkedip. Dengan sekuat tenaga aku berusaha tersenyum untuknya dan menyambut uluran tangannya. Keringatku tambah tak terkendali. Seolah aku tak percaya bahwa apa yang kulihat ini adalah kenyataan. Apakah dia adalah sosok yang kucari selama ini ? diakah yang kurindukan ? diakah yang selalu menghantui fikiranku ? diakah yang kudamba keberadaannya menerangi setiap sisi gelap hati ini ? kaukah itu ? aku menyambut tangannya. Terasa lembut. Terasa lemah. Terasa hangat. Dan terasa luar biasa. Sejenak aku menghirup aroma tubuhnya yang kurindukan. Serta suaranya yang sangat aku kenal. Aku semakin tak percaya. Ini seperti momen yang amat teramat kurindukan datangnya. Aku tak kuat lagi. Bajuku basah oleh keringatku sendiri. Otakku berputar hebat mencari-cari memori yang telah hilang. Aku melihatnya tersenyum lagi kepadaku. Tak sepatah katapun yang dapat aku keluarkan. Aku hanya mematung menantikan kenyataan yang akan dia ucapkan. Tenagaku habis. Mataku sayu. Aku tak kuasa mendengarnya.
“hai, aku Wulan !”