Tak seharusnya aku berpeluh kesah,
Meniti hari-hari yang sebenarnya semakin kosong.
Gelap tak mungkin menanti terang lagi,
Ketika cinta mulai bersimpuh di depan sang pengadil yang
agung, sang waktu.
Dan aku terus berjalan, ke dalam lorong-lorong yang hitam.
Semakin jauh aku melangkah kenapa aku semakin enggan untuk
meneruskannya?
Sebenarnya apa ini?
Mengapa aku masih tetap merasa sendiri?
Apakah semuanya akan berakhir mengerikan?
Rasa yang dulu kurasakan sempurna,
Kini tak lebih dari sampah yang menjijikan.
Begitu hebatnya sang waktu berkata, begitu perkasanya sang
waktu memuji kenyataan.
Kenyataan yang sedari dulu tak pernah kubayangkan,
Kini telah menjadi hantu yang sangat menakutkan di setiap
malam-malamku.
Siapakah gerangan ‘dia’?
Sang manusia kedua, yang kini kuanggap telah menjadi bayang-bayang.
Dengan topeng-topeng segala rupanya,
Selalu berusaha menghunuskan pedangnya ke perutku secara
diam-diam.
Dirinya menyelundup dan menyusup dengan sunyi,
Darahnya seakan statis tak berbunyi.
Desahan nafasnya mulai memburu, seirama langkah yang
diringan-ringankan.
Sunyi, senyap, diam dan sangat pasti!
Ia telah menghunus pedangnya tepat ke jantungku.
Sebenarnya itu adalah teorema,
Teorema dinamika yang tangkas.
Begitu cepat ia memastikan,
Terlalu segan aku tuk membongkarnya.
Ini bukanlah jalan yang ingin ku tuju,
Beribu-ribu gerilya telah kulakukan,
Namun semuanya gagal,
Dan hanya menjadi puing-puing cerita yang terbuang.
Ini adalah fatamorgana,
Yang hanya dipenuhi janji-janji tak nyata.
Jujurlah lenteraku bahwa ini adalah kebohongan,
Dan aku tak membutuhkan kebahagiaan ini.
0 komentar:
Posting Komentar