Cerita Inspirasi: Titipan Terakhir (Bag 4)



        Malam ini aku sangat bahagia. Aku merasa menjadi orang yang paling sempurna di dunia ini karena kehadiran Febi  di dalam hidupku. Bersamanya aku selalu menjalani hari-hari yang indah dan berwarna. Dan yang paling membuatku bahagia adalah karena kutahu dia sangat mencintaiku dengan segala kekuranganku.
Sejenak aku membayangkan kembali suasana tadi sore dimana bibir hangatnya menyentuh dengan bibirku. Sebuah sensasi luar biasa yang telah kurasakan. Badanku bergetar hebat saat kurasakan desahan nafasnya lebih dekat, dan lebih dekat lagi, hingga kami terperangkap ke penjara nafsu yang tak dapat kami elak lagi.
Tiba-tiba handphone-ku berdering.

         “halo sayang? Kamu mau ajak aku jalan lagi? hehe.” sahutku dengan girang ketika kuangkat telfon itu.

         “iya sayang. Aku kangen banget sama kamu. Kamu udah nggak sibuk?” Astaga! Ternyata yang menelfonku Arin. Aku menggurutu dalam hati karena sudah salah mengira, terlebih lagi aku telah salah mengajak orang.

         “ee..e.. ii.. iiya aku udah gak sibuk lagi kok. Kamu mau ketemuan jam berapa?” jawabku terbata-bata.

         “hmmm... besok kalo aku udah pulang les. Kita ketemuannya di cafe favorit kita, bisa kan, sayang?”
Akhirnya aku terpaksa menerima ajakan Arin. Sebenarnya aku sudah tak mau lagi bertemu dengannya tapi ini adalah kesalahanku sendiri, dan aku mengutuk-ngutuk keras diriku.

@

          Dengan langkah yang berat aku memasuki ruangan yang begitu sangat klasik kurasa. Lampu-lampu oranye yang tidak berubah, derik-derik suara pintu yang sudah asing kudengar, beriak air akuarium yang lama tak berirama di telingaku, sebuah ruangan kafe dengan susunan tata ruang yang sangat sederhana namun tetap saja dapat menggelorakan hatiku yang telah menjadi beku. Ya, ini adalah kafe dimana aku dan Arin sering bertemu, memadu kasih dan cinta, tertawa terbahak-bahak ataupun bertengkar hebat. Tapi itu dulu.

          Segera kupesan secangkir Cappucino yang sangat aku suka buatan kafe ini. Sengaja aku datang lebih cepat agar Arin mengira aku juga sangat rindu dengannya. Agar tidak bosan, aku mengalihkan pikiranku dengan mendengarkan musik melalui mp3 player handphone-ku.

          Sekitar 30 menit, sebuah gerakan yang lembut telah melepas earphone dari telingaku. Aku tersentak kaget dan berbalik. Senyum bibirnya menyapaku dengan tenang, dan memelukku serta mencium pipiku dengan mesra. Seorang wanita berkulit putih dan halus yang terbaluti sweater tipis berwarna coklat. Rambutnya panjang dan hitam, matanya cantik tak tercela, tubuhnya anggun dan menawan yang membuat mata lupa cara berpejam. Dialah Arin. Sore ini dia terlihat sangat cantik. Tetapi wajahnya tak semerona dulu lagi. dia sangat pucat.