Membagi Cinta


Telah lama kujaga cinta ini hanya untukmu
Penjarakan rasa ini agar kau tahu aku hanya milikmu
Dan semuanya kurasa begitu indah
Ku rela mati tuk pertahankan cinta ini
Dan tak pernah kusadari dirimu telah membagi cinta

Sungguh aku tak kuasa
Bila tanpamu di sini untukku
Kau pasti takkan mengerti
Rasa yang kau hianati

Perih hati tak bisa menerima
Kehadirannya mengisi hatimu
Walau berat kurasa
Akan kujalani


Song by Detective Joe

Selamat Ulang Tahun








Hari ini ku merangkai kata
Untuk jiwamu yang bahagia
Sang mentari menanti senyumanmu
Untukmu dan semua yang terindah

Hari ini kau menguntai mimpi
Demi hari yang telah pergi
Hidup bukan hanya sekedar cerita
Untukmu lebih indah

Selamat ulang tahun untukmu
Dariku yang teristimewa
Selamat Ulang tahun untukmu
Beri arti jejak langkahmu


Song by Detective Joe

Wanita Terhebat Yang Mencintaiku


Terhampar langit cerah yang tersenyum dan menanti kita
Ketika kita berjalan di bawahnya, terhias senyum mensyukuri nikmat-Nya
Ataukah sebuah memori klasik yang berputar dengan kencang
Disaat kau dan aku, kita bersama, saling mengikat janji-janji dewasa

Kau, wanita terhebat yang mencintaiku
Yang selalu kurindukan kehadirannya

Demi Tuhan, aku sangat beruntung memilikimu
Yang tak disangka kau tumbuh menjadi wanita terhebat yang pernah ada
Seberapa pantaskah kau mencintaiku yang rapuh?
Dan kau percaya kita dapat melakukannya

Kelembutanmu menyapa hari walau sedemikian kerasnya
Tak sekalipun kau langkahkan kakimu untuk mundur,
Meski sedikit dalam tangis...
Tapi terkadang juga gejolak darahmu panas menguap

Kau, wanita terhebat yang mencintaiku
Yang selalu terhempas oleh kekuatan egoku

Siapa saja yang memandangmu akan terpesona
Bukan hanya karena parasmu, bukan hanya karena senyummu
Tapi karena tata laku indahmu
Yang mencuri pandangan dunia untuk memujimu

Tetaplah kita mengukir dunia ini bersama
Memotong garis-garis ketidakmungkinan yang selalu mendekat
Atau memecah sekumpulan cermin masa lalu yang mengancam
Bahkan mengalahkan teori-teori relativitas si jenius fisika

Kau, Wanita terhebat yang mencintaiku
Buatlah aku semakin terjatuh dalam pesonamu
Untuk menyadarkanku dari keputusasaan
Bahwa betapa mudah dan indahnya dunia ini untuk dijalani

Pegang erat tanganku,
dan lebih erat lagi
Dan bawa aku berlari, sejauh mungkin yang kau bisa
Hingga aku dapat melihat cahaya kehidupan yang akan kau ciptakan

Tetaplah menjadi wanita terhebat yang mencintaiku
Sekarang dan selamanya....



Cerita Inspirasi: Titipan Terakhir (bagian terakhir)

Dua minggu berlalu dengan kesendirianku.
Tiba-tiba handphoneku berbunyi. Ternyata Arin yang menelfon dan segera  kuangkat.
DUGG!!!!!!
Aku tekejut. Ternyata yang menelfon adalah Papa-nya Arin. Dia memberiku kabar bahwa tadi siang Arin dibawa ke rumah sakit karena pingsan. Dia memintaku untuk segera ke rumah sakit.
“Arin baik-baik aja, Tante?” segera kutanyakan keadaan Arin kepada Tante Farah, Ibunda Arin. Dia segera menyilahkanku duduk di sampingnya. Mata dan hidungnya merah dan basah. Dengan suara yang terisak dan dikuat-kuatkan ia mulai bercerita.
“Mungkin ini sudah waktunya Nak Tirta. Sudah lama Ibu berdoa agar hari ini takkan pernah Ibu lihat......” Beliau berhenti berbicara. Pertahanannya pecah. Tangis Tante Farah mulai keluar. Aku masih dalam kebingungan.
Setelah aku menenangkannya ia melanjutkan lagi. Ternyata sejak kecil Arin telah mengidap penyakit cardiomyopathies. Sudah lama ia berobat dan menjalani terapi. Sekarang sepertinya penyakit itu telah mencapai ke titik yang sangat serius menjadi gagal jantung. Beliau menambahkan lagi bahwa nanti serangkaian pembedahan akan dilakukan oleh tim dokter.  Mungkin akan dilakukan juga transplantasi jantung. Katanya juga sejak kemarin Arin menyebut-nyebut namaku. Jadi terpaksa, mau tidak mau Om Hafid, Papa Arin, menghubungiku walaupun dia tak menyukaiku
Mendengar hal itu aku menjadi kaku. Membayangkan penyakit itu saja aku tak kuat. Apalagi jika seorang Arin, gadis 17 tahun yang riang itu mengalaminya. Akhirnya air mataku jatuh juga.
“Suster, boleh saya masuk?” aku sangat ingin melihat wajah Arin walau sebentar. Si suster itu melarangku dengan alasan kondisi pasien masih belum memungkinkan untuk dijenguk. Tapi aku memaksa. Tak lama setelah itu seorang dokter berkata bahwa pasien sudah bisa ditemui tapi belum sadarkan diri. Aku dan Tante Farah segera masuk setelah memakai pakaian steril.
Gadis itu terbaring lemas di ranjang. Kabel dan selang-selang menggerayangi tubuhnya yang pucat seperti tembok. Segera aku duduk di sampingnya dan menggenggam erat tangannya sambil menangis dan meminta maaf. Sekitar setengah jam berselang Arin siuman dan memanggil namaku. Aku menyahut dengan lembut. Tante Farah meninggalkan kami berdua.
Senyumannya masih seperti dulu. Begitu indah dan manis. Tapi kini ia tak selincah dulu lagi. Gerakannya lemah, nafasnya sesak. Air mataku jatuh lagi.
“kamu jangan nangis dong. Aku udah gak papa kok.” Katanya menenangkanku tapi aku tak bisa menahan emosiku pada diriku sendiri yang selama ini tidak mengetahui penyakitnya dan telah melupakannya serta menghianatinya seperti kemarin.
“Ta, aku mau ngasih kamu sesuatu. Tapi kamu harus janji gak nangis lagi. Tolong kamu ambilin di laci meja. Waktu sadar tadi aku nyuruh mama simpan disitu.”
Tanpa menunggu lama aku segera membuka laci meja yang terletak di sudut ruangan. Sebuah kotak merah itu lagi. Tangisku semakin menjadi. Ternyata Arin mengambilnya lagi setelah aku melupakannya di cafe itu.
“Ta, mungkin itu bukan kado spesial untuk kamu. Tapi aku harap se................” tiba-tiba badan Arin kejang. Matanya melotot tajam dan nafasnya terengah. Segera kupanggil dokter untuk menanganinya. Kupeluk kotak itu dengan erat.
@
Dua setengah jam berlalu.
Sekarang pukul 23.47, Aku duduk disini, di samping ranjang terakhir Arin. Air mataku begitu giat keluar dari penampungannya hingga bajuku menjadi agak basah. Langit sangat gelap tertutup awan yang menghitam. Berintik hujan terdengar jatuh mengisi suasana, begitu mengisyaratkan kelabu hati. Sekarang semuanya usai sudah. Perjuangan dan penderitaannya telah berakhir. Aku telah kalah.

Gadis cantik riang yang memiliki wajah lembut itu telah tiada. Keceriaannya telah punah, senyumnya telah berakhir. Kini semuanya hanya tinggal penyesalanku saja. Yang tak dapat menemaninya lebih lama, yag tak dapat mengisi waktu-waktu terakhirnya bersama-sama. Kini hanya kotak merah ini yang masih ada. Segera kubuka pengikat dan penutupnya. Jam tangan itu lagi. aku menggenggamnya dengan erat sambil menangis. Tetapi ada yang lain, sebuah lipatan kertas bergambar Sailormoon di dasar kotak itu. Aku membacanya. Isak tangisku beradu dengan deras hujan yang menyerbu.


~
The End

Cerita Inspirasi: Titipan Terakhir (bag 5)


Tetapi bagiku Arin hanyalah masa laluku. Secantik bagaimanapun dirinya sekarang, dia hanya kuanggap kenangan yang biasa, yang tak perlu kuingat lagi. Dia duduk berdekatan denganku. Wajahnya tak seriang dulu. Mungkin dia menjadi salah tingkah, karena sekarang aku sudah sangat asing baginya. Jelas saja, karena gayaku tak sekolot dulu. Sekarang penampilanku telah jauh berbeda.
“gak mesen minum, Rin?”
Tanyaku membuka pembicaraan yang kaku sejak sepuluh menit berlalu. Tapi dia hanya menggelengkan kepalanya. Sekarang aku yang salah tingkah. Kami terdiam lagi.
Sejak tadi dia hanya tertunduk. Mungkin ia tak berani melihatku. Segera kugenggam tangannya, walau sebenarnya terpaksa. Aku hanya tak ingin membuatnya menangis di tempat ini dan membuat kegaduhan. Kulihat ia sedikit tersenyum, dan dengan cepat tangannya mencoba mengambil sesuatu dari dalam tas ranselnya. Sebuah kotak kecil berwarna merah yang telah terikat oleh pita berwarna biru. Sungguh lucu bentuknya.
“ini buat kamu.”
Aku segera mengambil kotak itu dan membukanya. Hatiku berdebar-debar. Ini adalah pemberian pertama Arin untukku. Dalam hati aku berharap kalau saja benda yang ada di dalamnya adalah sesuatu yang aku suka. Dan ternyata... sebuah jam tangan berwarna kuning yang dikelilingi oleh bulir-bulir mutiara imitasi di atasnya. Aku terkejut dan sangat dongkol. Ini adalah benda dengan warna dan model yang sangat aku benci. Wajahku kecut.
“aku pulang dulu ya, Ta.” Nampaknya dia tahu kalau aku sangat tidak menyukai benda ini. Tapi aku mencegahnya dan menawarkan diri untuk mengantarnya pulang. Tapi ia menolak. Dengan cepat ia bergegas pergi. Aku tak bisa apa-apa.
Aku masih duduk terdiam sambil menikmati sisa-sisa cappucino-ku. Kotak merah itu kutaruh sekenanya saja di atas meja. Tiba-tiba handphone-ku berbunyi. Ternyata bunyi alarm. Aku kaget sekali setelah melihat layar handphone-ku, yang ternyata hari ini adalah hari ulang tahun ke-20 Febi. Aku bergegas pergi dan membelikannya seikat bunga yang  cantik. Kotak merah itu terlupakan.
Di sepanjang perjalanan aku mengutuk-ngutuk diriku sendiri yang melupakan hari spesial ini. Karena aku tak ingin kehilangan sosok Febi yang begitu kudamba dan kucinta. Dan aku sangat menyayanginya.
Mungkin ini terlihat sedikit egois. Aku hanya butuh waktu sedetik untuk melupakan Arin dan segera teralihkan dengan Febi, sang kekasih gelapku. Aku sadar bahwa aku telah membagi cinta, yang mungkin tak diharapkan oleh semua wanita, tak terkecuali Arin.
“Maaf, Febi ada, Mbok?” tanyaku kepada Mbok Sina, pembantu rumah tangga keluarga besar Febi.
“Oh, Non Febi lagi pergi tuh sejak pagi. Katanya mau jalan-jalan, Mas.  Mau titip sesuatu?”
Kuambil handphone-ku dan segera menelfon Febi. Sekali, dua kali, hingga enam kali panggilan tak terjawab. Aku mulai gelisah. Kucoba mengiriminya sebuah SMS dan berharap Febi membalasnya. Mungkin ia marah padaku karena melupakan hari ulang tahunnya.
Di tengah perjalanan pulang aku melihat bahwa kenyataan tidak berpihak kepadaku.  Sungguh di luar dugaan, aku melihat Febi sedang  sedang bersama seorang pria di sebuah restoran seafood. Kepalaku seketika mendidih. Segera kuberhentikan motorku dan mendatanginya.
“Feb, ngapain kamu disini? Terus cowok ini siapa?”
Emosiku telah mencapai puncak. Mukaku merah, mataku basah. Tanpa kusadari aku telah membuat suasana restoran ini menjadi  hening. Berpuluh-puluh pasang mata menatapku heran.
“Siapa kamu dengan berani-beraninya membentak calon tunangan saya? Apa kamu ada masalah? Sayang, kamu kenal dia?”
Si cowok brengsek itu berbalik seperti ingin memakanku. Badannya besar, tinggi badannya mungkin 15 cm di atasku dan tubuhnya cukup atletis.
“iiihh amit-amit deh. Cuma lihat saja ogah, apalagi kenal.”
Dialah Febi. Yang selama ini kudamba-dambakan, yang menurutku lebih daripada Arin, ternyata seorang iblis yang telah menginjak dan mempermainkanku. Dan setelah mendengar jawaban itu, aku segera meninggalkannya.

Hatiku lebur menjadi abu. Darahku seperti berhenti. Aku seperti ingin mati saja. Terpikirkan olehku hukum alam yang biasa disebut dengan karma. Sekarang aku sangat mempercayai karma itu. Sungguh aku merasa berdosa pada Arin. Sekarang tiba-tiba aku kepikiran padanya. Tapi aku tak sanggup lagi karena selama ini aku telah membohonginya dan dengan kenyataan aku yang mendapatkan batunya sendiri.

Ironi



kini tibalah saatnya kita bertemu dengan sebuah titik,
dimana kita berada dalam bayang-bayang,
yang tiba-tiba menggembung dan meletup,
mengironi kebahagiaan, merenggut petaka,
dan akhirnya memisahkan kita  jauh dan lebih jauh

kini janji itu tak seelok dulu,
termakan habis oleh waktu yang begitu kejam,
dan aku hanya bisa termangu dan menepuk tanganku, sendiri,
menyadari betapa megahnya parasmu,
yang memang membuat para setan-setan mabuk untuk mendekatimu,
sejalan dengan apa yang telah kau terbiasakan.

inilah ironi kita.
sebuah makna yang sederhana namun begitu kejam,
menemui dan menarik kita berdua ke dalam satu zona,
zona merah yang seharusnya kita lewati, jika kau mau.

sadarilah betapa indah anugerahNya untukmu
yang membuatmu utuh dan sempurna,
tingkah laku yang lembut, serta desahan suaramu yang begitu menggoda,
dan aku pun menyadari,
aku telah terjebak kedalam dunia ironi,
sebuah kefanaan yang terlalu singkat nan menyakitkan.

aku bahagia bukan karena itu semua,
tapi aku akan siap menunggu,
ketika dirimu memang lebih bahagia bersama orang lain,
dan aku telah terbiasa dengan hal itu.

[11011]

Cerita Inspirasi: Titipan Terakhir (Bag 4)



        Malam ini aku sangat bahagia. Aku merasa menjadi orang yang paling sempurna di dunia ini karena kehadiran Febi  di dalam hidupku. Bersamanya aku selalu menjalani hari-hari yang indah dan berwarna. Dan yang paling membuatku bahagia adalah karena kutahu dia sangat mencintaiku dengan segala kekuranganku.
Sejenak aku membayangkan kembali suasana tadi sore dimana bibir hangatnya menyentuh dengan bibirku. Sebuah sensasi luar biasa yang telah kurasakan. Badanku bergetar hebat saat kurasakan desahan nafasnya lebih dekat, dan lebih dekat lagi, hingga kami terperangkap ke penjara nafsu yang tak dapat kami elak lagi.
Tiba-tiba handphone-ku berdering.

         “halo sayang? Kamu mau ajak aku jalan lagi? hehe.” sahutku dengan girang ketika kuangkat telfon itu.

         “iya sayang. Aku kangen banget sama kamu. Kamu udah nggak sibuk?” Astaga! Ternyata yang menelfonku Arin. Aku menggurutu dalam hati karena sudah salah mengira, terlebih lagi aku telah salah mengajak orang.

         “ee..e.. ii.. iiya aku udah gak sibuk lagi kok. Kamu mau ketemuan jam berapa?” jawabku terbata-bata.

         “hmmm... besok kalo aku udah pulang les. Kita ketemuannya di cafe favorit kita, bisa kan, sayang?”
Akhirnya aku terpaksa menerima ajakan Arin. Sebenarnya aku sudah tak mau lagi bertemu dengannya tapi ini adalah kesalahanku sendiri, dan aku mengutuk-ngutuk keras diriku.

@

          Dengan langkah yang berat aku memasuki ruangan yang begitu sangat klasik kurasa. Lampu-lampu oranye yang tidak berubah, derik-derik suara pintu yang sudah asing kudengar, beriak air akuarium yang lama tak berirama di telingaku, sebuah ruangan kafe dengan susunan tata ruang yang sangat sederhana namun tetap saja dapat menggelorakan hatiku yang telah menjadi beku. Ya, ini adalah kafe dimana aku dan Arin sering bertemu, memadu kasih dan cinta, tertawa terbahak-bahak ataupun bertengkar hebat. Tapi itu dulu.

          Segera kupesan secangkir Cappucino yang sangat aku suka buatan kafe ini. Sengaja aku datang lebih cepat agar Arin mengira aku juga sangat rindu dengannya. Agar tidak bosan, aku mengalihkan pikiranku dengan mendengarkan musik melalui mp3 player handphone-ku.

          Sekitar 30 menit, sebuah gerakan yang lembut telah melepas earphone dari telingaku. Aku tersentak kaget dan berbalik. Senyum bibirnya menyapaku dengan tenang, dan memelukku serta mencium pipiku dengan mesra. Seorang wanita berkulit putih dan halus yang terbaluti sweater tipis berwarna coklat. Rambutnya panjang dan hitam, matanya cantik tak tercela, tubuhnya anggun dan menawan yang membuat mata lupa cara berpejam. Dialah Arin. Sore ini dia terlihat sangat cantik. Tetapi wajahnya tak semerona dulu lagi. dia sangat pucat.

Cerita Inspirasi: Titipan Terakhir (bag 3)


          
          Sebenarnya rasa ku pada Arinda sudah tak ada lagi. Mungkin sekarang, secara tak kusadari, aku hanya menaruh rasa kasihan padanya, dan bukan cinta seperti dulu. Beruntai-untai cerita yang telah kami bangun bersama-sama, terasa hilang tak berbekas karena kehadiran Febi dalam hidupku. Bersama Febi, aku lebih merasa berarti, indah dan bercerita. Sangat berbeda jika dibandingkan dengan Arinda.
Dengan cepat kumatikan handphoneku agar Arinda tak menelfon lagi yang mungkin akan menggangguku bersama Febi lagi. 

          “Kamu dari mana, Ta?”

          “Engg, ngg, mama yang nelfon. Katanya kalo pulang jangan kemalaman.” Jawabku agak gugup.

          Febi terlihat semakin cantik saja malam ini. Jantungku berdetak hebat, keringat dinginku mulai membasahi bajuku. Aku rasa ini adalah waktu yang tepat untuk menyatakan cintaku dengannya. Semangatku menggebu-gebu tapi mulutku tak sejalan seperti yang kumau. Diam dan bisu.

          Kulihat dia sedang asyik mendengarkan musik dari handphone-nya sambil memejamkan mata. Ia semakin elok saja di mataku. Wajahnya putih dan bersih, rambutnya yang panjang dan hitam terurai lembut dipermainkan oleh angin malam yang sesepoi. Jemarinya panjang dan indah, lembut tak terbayangkan rasanya. Serta harum badannya yang selalu saja membuatku mabuk kepayang melayang-layang.

          Kuusahakan sekuat tenaga untuk mengumpulkan kepercayaan diriku. Sekarang sudah jam 10 malam, semakin aku membuang waktu, semakin sedikit kesempatanku untuk menyatakan cintaku padanya malam ini.
          Dengan sikap yang lembut, aku memegang tangannya. Ia agak kaget dengan ulahku itu. Segera kulepaskan earphone yang masih menempel di telinganya. Ia menurut saja.

          “Engg...Feb, kamu seneng gak jalan sama aku?” Aku memulai pembicaraan dengan suara yang terbata-bata. Ia berusaha tersenyum melihatku, tapi tetap terdiam dalam kebingungannya.

          “Aku hanya ingin kita lebih dekat lagi, Feb. Bukan hanya sekedar teman biasa. Menurutku kamu itu spesial banget. Mau gak kamu jadi pacar aku?”

          Kurasakan tangannya basah oleh keringatnya sendiri. Tapi, ia semakin menggenggam tanganku lebih erat lagi. Badanku bergetar hebat menanti satu dua patah kata yang mungkin akan keluar dari bibir merahnya. Lama kami terdiam dan salah tingkah. Darahku mulai terasa panas.

          “Aku juga sayang kamu, Ta.”

          Cukup. Hanya itu yang diucapkannya.  Aku segera berdiri dan mendekatinya. Kucium keningnya dan kupeluk tubuhnya hingga terasa aroma badannya. kurasakan juga degup jantungnya yang semakin cepat. Terdengar sayup-sayup alunan lagu “Fall For You”-nya Secondhand Serenade dari earphone yang tergeletak di atas meja, begitu melarutkan kami ke dalam kesyahduan yang tak terkira indahnya.

          “Sayang, makasih ya. Malam ini kamu telah menjadikanku orang yang sangat sempurna di dunia ini.” Kubisikkan kata-kata manis itu ketika kami telah sampai di depan rumahnya. Kupeluk dan kali ini kucium bibirnya yang hangat.

                                                                                            @

          Hari ini aku jalan-jalan keliling kota dengan Febi. Tak terasa sudah sebulan kami menjalani hubungan yang romantis ini. Hingga aku tak begitu memedulikan Arinda lagi. Toh juga Arinda jarang menelfonku. Paling cuma dua kali saja, itupun pembicaraan kami sangat cepat. Yang ada dipikiranku saat ini hanyalah nama Febi, gadis cantik dengan bodi yang aduhai.

          Setelah merasa lelah, aku dan Febi singgah di pinggiran pantai. Kami memesan soft drink dan sepiring kentang goreng. Suasana tambah romantis saja, ditemani dengan garis-garis cahaya jingga matahari yang menelusup di sela pondasi-pondasi kayu dan diiringi dengan alunan suara lembut sang penyanyi cafe yang membawakan lagu “I believe I can Fly”-nya Bruno Mars. Begitu merdu dan memeranjat kami berdua ke dalam jurang romantisme. 

          Berkali-kali aku merasa handphone-ku bergetar. Sengaja ku silent agar tak mengganggu. Aku mengacuhkannya.

Dapatkah Kita Terbiasa?


seluruh rongga-rongga nafasku kian tertusuk tajam dialiri hembusan nafas yang tak lagi kukenal.
Pertengkaran ego berpihak kepada akhir yang memilukan
merintih tangis hatiku yang sebenarnya tak bisa menerima.
Dan biarlah sang waktu bertanggung jawab dengan berhak atas kebijakannya.

Aku.
Kau.
Hubungan ini.
Dan siapakah yang telah mengubahmu?

Hendaklah kita menyatukan asa kita kembali.
Tapi dapatkah kita bisa?
Ini sudah seperti fatamorgana,
semakin kita mendekat ke arahnya, semakin ia nampak seperti bayang-bayang semu.

Teriakkanlah nama kita berdua ke awan putih, dan lebih keras lagi.
Tapi dapatkah kita bisa?
semakin lama ini telah menjadi sebuah kebohongan besar,
yang menghunus kita berdua ke jurang kegilaan.

Aku ingin kau dan aku kembali seperti yang dulu.
Tapi dapatkah kita terbiasa?
Terbiasa untuk menghilangkan kebohongan demi kebohongan kita?
Terbiasa untuk saling menerima?

Aku rasa aku akan mati,
mati karena cintamu.
Dan jika memang begitu, aku hanya ingin sendiri,
jika memang kesendirian dapat menghapus lukaku.

Foto-Foto Hot Terbaru (No Sensor)

Hmmmm nyam nyam nyam :)

Cerita Inspirasi: Titipan Terakhir (bag 2)


          
          Jujur saja aku merasa gerah. Hubungan ini terasa biasa-biasa saja dan kuanggap ini hanyalah cinta monyet. Yang kurasakan sudah tak ada sedikit pun sisi istimewa darinya. Kadang aku berfikir untuk memutuskan hubungan ini, tapi aku tak sampai hati. Jujur saja dia adalah wanita yang paling sulit aku dapatkan. Dia sangat pendiam dan sangat pintar. Lelaki mana pun tak dapat begitu saja membaca hati dan pikirannya. Dia adalah wanita yang baik, tetapi yang kukecewakan adalah dia sangat tidak kreatif, melankolis, klise. 

          "Halo? Oh iya, Ma. Sebentar lagi kok. Ok!” Ia segera menutup telfonnya dan memalingkan wajahnya ke arahku. Ketus. Dengan cepat ia membereskan tasnya untuk segera pulang. Aku acuh.

          “Kakak, gak pulang?” Tanyanya kepadaku yang masih duduk menikmati secangkir cappucino-ku.

          “Hmm, kamu duluan aja, ya. Aku masih pengen di sini. Sayang nih cappucino-nya belum habis, he he he.” Jawabku kepadanya sambil tersenyum kecut.

          “Oke deh. Arin pulang duluan ya, Sayang.” Bisiknya kecil sambil mencium pipi kananku. Dengan langkah yang terburu-buru ia keluar dari kafe dan segera memanggil taksi.


          Ini bukanlah hubungan yang ku mau. Tapi selalu saja begitu. Seolah ia tak memikirkan kelanjutan hubungan ini. Aku acuh, dan dia juga nampak acuh. Apakah ia juga merasakan hal yang sama denganku? Dan kenapa aku dan dia harus mengalami hal seperti ini secara terus menerus? Seharusnya ia menerima saja pinangan lelaki yang diberikan oleh orang tuanya daripada harus menjalani hubungan bersamaku. Karena aku tak mau tersiksa seperti ini. Jujur aku merasa sangat menyesal telah mengenalnya, dan aku sangat ingin mengakhiri hubungan ini, tapi selalu saja mulutku tak bisa berkata apa-apa di depannya.

         Empat bulan telah berlalu. Dan hubungaku dengan Arinda semakin kritis saja. Jujur karena aku telah menemukan sosok wanita yang kuidam-idamkan sejak lama. Namanya Febi, teman SMP ku dulu. Selama empat bulan ini aku merasa sangat bahagia bersamanya. Kami sering jalan bareng, nonton di bioskop bareng, sekedar nyuci mata di Mall, serta ditambah wajahnya yang semakin cantik sejak aku mengenalnya di SMP dulu, kulitnya putih dan bening serta matanya yang masih sipit mempesona. Sontak konsentrasiku lebih mengarah kepada Febi sekarang. Dan aku berhasil menutup hubungan ini dari Arinda.

         Sore ini aku dan Febi sedang menonton konser dari band ternama. Suara bising tapi merdu terdengar memekikkan telinga di lapangan yang telah dipenuhi oleh ribuan orang ini. Kami berdua melompat-lompat seiring irama musik yang dimainkan. Dengan gayanya yang hanya memakai kaos biru bertuliskan ‘What Would You Do?’ di bagian dadanya sehingga cukup membuat otakku ngeres, dan dipadukan dengan celana pendek jeans yang agak tinggi dari paha, mataku tak bisa berpaling darinya. Sungguh ia sangat cantik sore ini. Aku merasa sangat beruntung bisa menjalani hubungan dengannya yang merupakan sosok modis tapi romantis. 

          Setelah merasa lelah tak terbayagkan dengan peluh keringat yang cukup membasahi baju, kami istirahat sejenak di sebuah kafe terdekat. Ia hanya memesan jus tomat belanda kesukaannya dan aku memesan secangkir cappucino hangat andalanku. Dengan sedikit gerakan yang terlatih ia mengusap wajahku yang masih penuh oleh keringat dengan handuk yang dibawanya dari rumah. Aku agak kaget tapi ia meneruskannya saja. Dan dengan leluasa aku mencium punggung tangannya yang halus dan dibalas oleh senyum dan tatapan manisnya. Suasananya sangat romantis dan kami larut ke dalam suasana ini.

          Tapi tiba-tiba handphone ku bergetar. Ternyata dari Arinda. Aku berusaha menjauhkan diri dari Febi agar ia tak curiga.

         “Halo? Ada apa sih nelfon tengah malam gini?” Nada suaraku penuh dengan emosi karena ia telah merusak suasana romantisku bersama Febi.

         “Enggak kok, Sayang. Aku cuma kangen banget sama kamu.” Terdengar suaranya terisak dan serak. Jujur saja selama empat bulan ini aku sangat jarang bertemu dengannya dengan alasan aku mempersiapkan ujian masuk kuliahku.

          “Iya aku juga kangen sama kamu. Tapi aku sibuk banget nih sampai gak ada waktu buat ngehubungin kamu. Gini aja, besok aku telfon kamu lagi.Aku lagi capek nih.” Emosiku masih belum padam. 

          Yang kuinginkan hanya agar Arinda segera menutup telfonnya dan aku bisa melanjutkan suasana romantis ini bersama Febi.

          “Iya, aku ngerti kok, Sayang. Aku cuma pengen ngasih tau kalo hari ini adalah hari tiga tahun hubungan kita. Arin pikir kamu ingat, jadi aku tunggu aja telfon kamu sampe malam gini, tapi ternyata kamu yang lupa. Kamu istirahat aja ya biar kamu gak sakit.” Aku mendengar suara itu seperti tangisan. Jujur saja aku merasa sangat bersalah pada Arinda karena melupakan hari yang spesial ini. Aku lama terdiam. Tapi belum sempat aku menenangkannya, ia menutup telfonnya. 

~(Bersambung ke bag 3)

Cerita Inspirasi: Titipan Terakhir (bag 1)


         
          Pagi ini sang fajar menyambut langkahku dengan cerah. Dengan mengendarai motor butut warisan kakek, aku bergegas menuju ke sekolah demi melihat pengumuman kelulusan sekolahku. Nampak di pinggiran jalan anak-anak sekolah yang lain sudah menampakkan histeria kelulusannya dengan mengadakan ritual corat-coret baju putih abu-abunya. Melihat itu, aku semakin tidak sabar melihat hasil pengumuman di sekolah. “Semoga saja aku lulus,” benakku.

          “yess, yess akhirnya selesai sudah perjuangan kita, Ta.” Sambut Bagas kepadaku ketika aku baru saja memasuki gerbang sekolah.

          “kita lulus, Gas?” tanyaku kepadanya untuk meyakinkan diriku sendiri yang seolah tak percaya.

          “Iya, Ta! Kelas kita lulus sepuluh ribu persen, sob!” Jiwa-jiwa hiperboliknya mulai kumat lagi. 

          Segera kuparkir motorku di lapangan dan berlari menuju ke papan pengumuman untuk memastikannya.  Tidak begitu lama aku telah mendapatkan namaku. Raden Tirtajaya Kusuma. Ya, karena namaku berada di urutan keenam dari 250 siswa. Rasa senang di dalam otakku mulai mengembang berkali-kali lipat dari sebelumnya. Benar kata Bagas, akhirnya perjuangan mati-matian untuk menghadapi ujian nasional kemarin telah terbayar tuntas. Aku segera berlari ke dalam kelas dan memeluk teman-temanku.

          “Tirta...!!!” Si ceking Banu dengan cepat melompat ke arahku sambil merentangkan tangannya untuk memelukku juga. Semuanya tampak senang, semuanya tampak bahagia.

          Kami merayakan kelulusan hari ini agak beda dari yang lain. Secara serentak kami melepas baju seragam putih kami dan dikumpulkan menjadi satu untuk disumbangkan ke Panti Asuhan. Setelah itu kami mengadakan acara syukuran kecil-kecilan di rumah Surya, teman bangkuku sejak kelas 2 SMA.
Setelah hari menjelang petang, tiba-tiba handphone ku berdering. Ternyata dari Arinda, kekasihku yang selama dua tahun ini menemaniku. Dia mengajakku untuk dinner, dan aku segera menyetujuinya. Memang disetiap weekend kami selalu begitu. 

          Setelah mandi dan sedikit berdandan aku ke rumahnya. 

          “udah siap?” Tanyaku kepada Arinda ketika aku sudah berada di depan rumahnya. Sambil tersenyum ia menaiki motorku. Tak begitu lama kami telah sampai di sebuah kafe favorit kita berdua. Dan kami pun segera duduk di bangku dekat air mancur.

          “Eh, selamat ya Kak atas kelulusannya, Arin ikut seneng loh.” Dia masih seperti yang dulu. Tak sekalipun berubah. Tingkahnya, senyumnya, raut wajahnya begitu manis dan lembut. Ia lebih muda dua tahun dariku, dan kami satu sekolah. Mama sangat menyukainya, bahkan Mama selalu mempertanyakan kesiapanku untuk meminangnya. Dan itu adalah hal yang sama sekali belum kumengerti. Tapi yang menjadi kendalaku saat ini adalah karena kedua orang tua Arinda tak menyukaiku. Entah mengapa.

          “Makasih ya, Dek.” Jawabku singkat sambil meminum cappucino yang telah kami pesan sedari tadi. Entah akhir-akhir ini aku telah merasa bosan dengannya. Selama dua tahun kami bermain kucing-kucingan dengan orang tuanya. Dia selalu berbohong demi bertemu denganku. Dan sepertinya aku telah lelah menghadapi situasi seperti ini terus-menerus. Karena itu pula sehingga kami tak bisa kemana-mana. Sekedar nonton di bioskop pun tak pernah. Paling kami hanya bertemu di sekolah saja, setelah pulang ia dijemput oleh supirnya. Sungguh tak ada kesempatan untuk berduaan lebih lama.