Pagi ini sang fajar menyambut langkahku dengan
cerah. Dengan mengendarai motor butut warisan kakek, aku bergegas menuju ke
sekolah demi melihat pengumuman kelulusan sekolahku. Nampak di pinggiran jalan
anak-anak sekolah yang lain sudah menampakkan histeria kelulusannya dengan
mengadakan ritual corat-coret baju putih abu-abunya. Melihat itu, aku semakin
tidak sabar melihat hasil pengumuman di sekolah. “Semoga saja aku lulus,”
benakku.
“yess, yess akhirnya selesai sudah perjuangan
kita, Ta.” Sambut Bagas kepadaku ketika aku baru saja memasuki gerbang sekolah.
“kita lulus, Gas?” tanyaku kepadanya untuk
meyakinkan diriku sendiri yang seolah tak percaya.
“Iya, Ta! Kelas kita lulus sepuluh ribu
persen, sob!” Jiwa-jiwa hiperboliknya mulai kumat lagi.
Segera kuparkir motorku
di lapangan dan berlari menuju ke papan pengumuman untuk memastikannya. Tidak
begitu lama aku telah mendapatkan namaku. Raden Tirtajaya Kusuma. Ya, karena
namaku berada di urutan keenam dari 250 siswa. Rasa senang di dalam otakku
mulai mengembang berkali-kali lipat dari sebelumnya. Benar kata Bagas, akhirnya
perjuangan mati-matian untuk menghadapi ujian nasional kemarin telah terbayar
tuntas. Aku segera berlari ke dalam kelas dan memeluk teman-temanku.
“Tirta...!!!” Si ceking Banu dengan cepat melompat
ke arahku sambil merentangkan tangannya untuk memelukku juga. Semuanya tampak
senang, semuanya tampak bahagia.
Kami merayakan kelulusan hari ini agak beda
dari yang lain. Secara serentak kami melepas baju seragam putih kami dan
dikumpulkan menjadi satu untuk disumbangkan ke Panti Asuhan. Setelah itu kami
mengadakan acara syukuran kecil-kecilan di rumah Surya, teman bangkuku sejak
kelas 2 SMA.
Setelah hari menjelang petang, tiba-tiba
handphone ku berdering. Ternyata dari Arinda, kekasihku yang selama dua tahun
ini menemaniku. Dia mengajakku untuk dinner, dan aku segera menyetujuinya. Memang
disetiap weekend kami selalu begitu.
Setelah mandi dan sedikit berdandan aku ke
rumahnya.
“udah siap?” Tanyaku kepada Arinda ketika aku
sudah berada di depan rumahnya. Sambil tersenyum ia menaiki motorku. Tak begitu
lama kami telah sampai di sebuah kafe favorit kita berdua. Dan kami pun segera
duduk di bangku dekat air mancur.
“Eh, selamat ya Kak atas kelulusannya, Arin
ikut seneng loh.” Dia masih seperti yang dulu. Tak sekalipun berubah.
Tingkahnya, senyumnya, raut wajahnya begitu manis dan lembut. Ia lebih muda dua
tahun dariku, dan kami satu sekolah. Mama sangat menyukainya, bahkan Mama
selalu mempertanyakan kesiapanku untuk meminangnya. Dan itu adalah hal yang sama
sekali belum kumengerti. Tapi yang menjadi kendalaku saat ini adalah karena
kedua orang tua Arinda tak menyukaiku. Entah mengapa.
“Makasih ya, Dek.” Jawabku singkat sambil
meminum cappucino yang telah kami pesan sedari tadi. Entah akhir-akhir ini aku telah
merasa bosan dengannya. Selama dua tahun kami bermain kucing-kucingan dengan
orang tuanya. Dia selalu berbohong demi bertemu denganku. Dan sepertinya aku
telah lelah menghadapi situasi seperti ini terus-menerus. Karena itu pula
sehingga kami tak bisa kemana-mana. Sekedar nonton di bioskop pun tak pernah.
Paling kami hanya bertemu di sekolah saja, setelah pulang ia dijemput oleh
supirnya. Sungguh tak ada kesempatan untuk berduaan lebih lama.
0 komentar:
Posting Komentar