Cerita Inspirasi: Titipan Terakhir (bag 1)


         
          Pagi ini sang fajar menyambut langkahku dengan cerah. Dengan mengendarai motor butut warisan kakek, aku bergegas menuju ke sekolah demi melihat pengumuman kelulusan sekolahku. Nampak di pinggiran jalan anak-anak sekolah yang lain sudah menampakkan histeria kelulusannya dengan mengadakan ritual corat-coret baju putih abu-abunya. Melihat itu, aku semakin tidak sabar melihat hasil pengumuman di sekolah. “Semoga saja aku lulus,” benakku.

          “yess, yess akhirnya selesai sudah perjuangan kita, Ta.” Sambut Bagas kepadaku ketika aku baru saja memasuki gerbang sekolah.

          “kita lulus, Gas?” tanyaku kepadanya untuk meyakinkan diriku sendiri yang seolah tak percaya.

          “Iya, Ta! Kelas kita lulus sepuluh ribu persen, sob!” Jiwa-jiwa hiperboliknya mulai kumat lagi. 

          Segera kuparkir motorku di lapangan dan berlari menuju ke papan pengumuman untuk memastikannya.  Tidak begitu lama aku telah mendapatkan namaku. Raden Tirtajaya Kusuma. Ya, karena namaku berada di urutan keenam dari 250 siswa. Rasa senang di dalam otakku mulai mengembang berkali-kali lipat dari sebelumnya. Benar kata Bagas, akhirnya perjuangan mati-matian untuk menghadapi ujian nasional kemarin telah terbayar tuntas. Aku segera berlari ke dalam kelas dan memeluk teman-temanku.

          “Tirta...!!!” Si ceking Banu dengan cepat melompat ke arahku sambil merentangkan tangannya untuk memelukku juga. Semuanya tampak senang, semuanya tampak bahagia.

          Kami merayakan kelulusan hari ini agak beda dari yang lain. Secara serentak kami melepas baju seragam putih kami dan dikumpulkan menjadi satu untuk disumbangkan ke Panti Asuhan. Setelah itu kami mengadakan acara syukuran kecil-kecilan di rumah Surya, teman bangkuku sejak kelas 2 SMA.
Setelah hari menjelang petang, tiba-tiba handphone ku berdering. Ternyata dari Arinda, kekasihku yang selama dua tahun ini menemaniku. Dia mengajakku untuk dinner, dan aku segera menyetujuinya. Memang disetiap weekend kami selalu begitu. 

          Setelah mandi dan sedikit berdandan aku ke rumahnya. 

          “udah siap?” Tanyaku kepada Arinda ketika aku sudah berada di depan rumahnya. Sambil tersenyum ia menaiki motorku. Tak begitu lama kami telah sampai di sebuah kafe favorit kita berdua. Dan kami pun segera duduk di bangku dekat air mancur.

          “Eh, selamat ya Kak atas kelulusannya, Arin ikut seneng loh.” Dia masih seperti yang dulu. Tak sekalipun berubah. Tingkahnya, senyumnya, raut wajahnya begitu manis dan lembut. Ia lebih muda dua tahun dariku, dan kami satu sekolah. Mama sangat menyukainya, bahkan Mama selalu mempertanyakan kesiapanku untuk meminangnya. Dan itu adalah hal yang sama sekali belum kumengerti. Tapi yang menjadi kendalaku saat ini adalah karena kedua orang tua Arinda tak menyukaiku. Entah mengapa.

          “Makasih ya, Dek.” Jawabku singkat sambil meminum cappucino yang telah kami pesan sedari tadi. Entah akhir-akhir ini aku telah merasa bosan dengannya. Selama dua tahun kami bermain kucing-kucingan dengan orang tuanya. Dia selalu berbohong demi bertemu denganku. Dan sepertinya aku telah lelah menghadapi situasi seperti ini terus-menerus. Karena itu pula sehingga kami tak bisa kemana-mana. Sekedar nonton di bioskop pun tak pernah. Paling kami hanya bertemu di sekolah saja, setelah pulang ia dijemput oleh supirnya. Sungguh tak ada kesempatan untuk berduaan lebih lama.

Artikel Terkait

0 komentar: