Cerita Inspirasi: Titipan Terakhir (bagian terakhir)

Dua minggu berlalu dengan kesendirianku.
Tiba-tiba handphoneku berbunyi. Ternyata Arin yang menelfon dan segera  kuangkat.
DUGG!!!!!!
Aku tekejut. Ternyata yang menelfon adalah Papa-nya Arin. Dia memberiku kabar bahwa tadi siang Arin dibawa ke rumah sakit karena pingsan. Dia memintaku untuk segera ke rumah sakit.
“Arin baik-baik aja, Tante?” segera kutanyakan keadaan Arin kepada Tante Farah, Ibunda Arin. Dia segera menyilahkanku duduk di sampingnya. Mata dan hidungnya merah dan basah. Dengan suara yang terisak dan dikuat-kuatkan ia mulai bercerita.
“Mungkin ini sudah waktunya Nak Tirta. Sudah lama Ibu berdoa agar hari ini takkan pernah Ibu lihat......” Beliau berhenti berbicara. Pertahanannya pecah. Tangis Tante Farah mulai keluar. Aku masih dalam kebingungan.
Setelah aku menenangkannya ia melanjutkan lagi. Ternyata sejak kecil Arin telah mengidap penyakit cardiomyopathies. Sudah lama ia berobat dan menjalani terapi. Sekarang sepertinya penyakit itu telah mencapai ke titik yang sangat serius menjadi gagal jantung. Beliau menambahkan lagi bahwa nanti serangkaian pembedahan akan dilakukan oleh tim dokter.  Mungkin akan dilakukan juga transplantasi jantung. Katanya juga sejak kemarin Arin menyebut-nyebut namaku. Jadi terpaksa, mau tidak mau Om Hafid, Papa Arin, menghubungiku walaupun dia tak menyukaiku
Mendengar hal itu aku menjadi kaku. Membayangkan penyakit itu saja aku tak kuat. Apalagi jika seorang Arin, gadis 17 tahun yang riang itu mengalaminya. Akhirnya air mataku jatuh juga.
“Suster, boleh saya masuk?” aku sangat ingin melihat wajah Arin walau sebentar. Si suster itu melarangku dengan alasan kondisi pasien masih belum memungkinkan untuk dijenguk. Tapi aku memaksa. Tak lama setelah itu seorang dokter berkata bahwa pasien sudah bisa ditemui tapi belum sadarkan diri. Aku dan Tante Farah segera masuk setelah memakai pakaian steril.
Gadis itu terbaring lemas di ranjang. Kabel dan selang-selang menggerayangi tubuhnya yang pucat seperti tembok. Segera aku duduk di sampingnya dan menggenggam erat tangannya sambil menangis dan meminta maaf. Sekitar setengah jam berselang Arin siuman dan memanggil namaku. Aku menyahut dengan lembut. Tante Farah meninggalkan kami berdua.
Senyumannya masih seperti dulu. Begitu indah dan manis. Tapi kini ia tak selincah dulu lagi. Gerakannya lemah, nafasnya sesak. Air mataku jatuh lagi.
“kamu jangan nangis dong. Aku udah gak papa kok.” Katanya menenangkanku tapi aku tak bisa menahan emosiku pada diriku sendiri yang selama ini tidak mengetahui penyakitnya dan telah melupakannya serta menghianatinya seperti kemarin.
“Ta, aku mau ngasih kamu sesuatu. Tapi kamu harus janji gak nangis lagi. Tolong kamu ambilin di laci meja. Waktu sadar tadi aku nyuruh mama simpan disitu.”
Tanpa menunggu lama aku segera membuka laci meja yang terletak di sudut ruangan. Sebuah kotak merah itu lagi. Tangisku semakin menjadi. Ternyata Arin mengambilnya lagi setelah aku melupakannya di cafe itu.
“Ta, mungkin itu bukan kado spesial untuk kamu. Tapi aku harap se................” tiba-tiba badan Arin kejang. Matanya melotot tajam dan nafasnya terengah. Segera kupanggil dokter untuk menanganinya. Kupeluk kotak itu dengan erat.
@
Dua setengah jam berlalu.
Sekarang pukul 23.47, Aku duduk disini, di samping ranjang terakhir Arin. Air mataku begitu giat keluar dari penampungannya hingga bajuku menjadi agak basah. Langit sangat gelap tertutup awan yang menghitam. Berintik hujan terdengar jatuh mengisi suasana, begitu mengisyaratkan kelabu hati. Sekarang semuanya usai sudah. Perjuangan dan penderitaannya telah berakhir. Aku telah kalah.

Gadis cantik riang yang memiliki wajah lembut itu telah tiada. Keceriaannya telah punah, senyumnya telah berakhir. Kini semuanya hanya tinggal penyesalanku saja. Yang tak dapat menemaninya lebih lama, yag tak dapat mengisi waktu-waktu terakhirnya bersama-sama. Kini hanya kotak merah ini yang masih ada. Segera kubuka pengikat dan penutupnya. Jam tangan itu lagi. aku menggenggamnya dengan erat sambil menangis. Tetapi ada yang lain, sebuah lipatan kertas bergambar Sailormoon di dasar kotak itu. Aku membacanya. Isak tangisku beradu dengan deras hujan yang menyerbu.


~
The End

Artikel Terkait

0 komentar: