Tetapi bagiku Arin hanyalah masa laluku. Secantik
bagaimanapun dirinya sekarang, dia hanya kuanggap kenangan yang biasa, yang tak
perlu kuingat lagi. Dia duduk berdekatan denganku. Wajahnya tak seriang dulu.
Mungkin dia menjadi salah tingkah, karena sekarang aku sudah sangat asing
baginya. Jelas saja, karena gayaku tak sekolot dulu. Sekarang penampilanku
telah jauh berbeda.
“gak mesen minum, Rin?”
Tanyaku membuka pembicaraan yang kaku sejak sepuluh menit berlalu.
Tapi dia hanya menggelengkan kepalanya. Sekarang aku yang salah tingkah. Kami
terdiam lagi.
Sejak tadi dia hanya tertunduk. Mungkin ia tak berani
melihatku. Segera kugenggam tangannya, walau sebenarnya terpaksa. Aku hanya tak
ingin membuatnya menangis di tempat ini dan membuat kegaduhan. Kulihat ia
sedikit tersenyum, dan dengan cepat tangannya mencoba mengambil sesuatu dari
dalam tas ranselnya. Sebuah kotak kecil berwarna merah yang telah terikat oleh
pita berwarna biru. Sungguh lucu bentuknya.
“ini buat kamu.”
Aku segera mengambil kotak itu dan membukanya. Hatiku
berdebar-debar. Ini adalah pemberian pertama Arin untukku. Dalam hati aku
berharap kalau saja benda yang ada di dalamnya adalah sesuatu yang aku suka.
Dan ternyata... sebuah jam tangan berwarna kuning yang dikelilingi oleh
bulir-bulir mutiara imitasi di atasnya. Aku terkejut dan sangat dongkol. Ini
adalah benda dengan warna dan model yang sangat aku benci. Wajahku kecut.
“aku pulang dulu ya, Ta.” Nampaknya dia tahu kalau aku
sangat tidak menyukai benda ini. Tapi aku mencegahnya dan menawarkan diri untuk
mengantarnya pulang. Tapi ia menolak. Dengan cepat ia bergegas pergi. Aku tak
bisa apa-apa.
Aku masih duduk terdiam sambil menikmati sisa-sisa
cappucino-ku. Kotak merah itu kutaruh sekenanya saja di atas meja. Tiba-tiba
handphone-ku berbunyi. Ternyata bunyi alarm. Aku kaget sekali setelah melihat
layar handphone-ku, yang ternyata hari ini adalah hari ulang tahun ke-20 Febi. Aku
bergegas pergi dan membelikannya seikat bunga yang cantik. Kotak merah itu terlupakan.
Di sepanjang perjalanan aku mengutuk-ngutuk diriku sendiri
yang melupakan hari spesial ini. Karena aku tak ingin kehilangan sosok Febi
yang begitu kudamba dan kucinta. Dan aku sangat menyayanginya.
Mungkin ini terlihat sedikit egois. Aku hanya butuh waktu
sedetik untuk melupakan Arin dan segera teralihkan dengan Febi, sang kekasih
gelapku. Aku sadar bahwa aku telah membagi cinta, yang mungkin tak diharapkan
oleh semua wanita, tak terkecuali Arin.
“Maaf, Febi ada, Mbok?” tanyaku kepada Mbok Sina, pembantu
rumah tangga keluarga besar Febi.
“Oh, Non Febi lagi pergi tuh sejak pagi. Katanya mau
jalan-jalan, Mas. Mau titip sesuatu?”
Kuambil handphone-ku dan segera menelfon Febi. Sekali, dua
kali, hingga enam kali panggilan tak terjawab. Aku mulai gelisah. Kucoba mengiriminya
sebuah SMS dan berharap Febi membalasnya. Mungkin ia marah padaku karena
melupakan hari ulang tahunnya.
Di tengah perjalanan pulang aku melihat bahwa kenyataan
tidak berpihak kepadaku. Sungguh di luar
dugaan, aku melihat Febi sedang sedang
bersama seorang pria di sebuah restoran seafood. Kepalaku seketika mendidih. Segera
kuberhentikan motorku dan mendatanginya.
“Feb, ngapain kamu disini? Terus cowok ini siapa?”
Emosiku telah mencapai puncak. Mukaku merah, mataku basah. Tanpa
kusadari aku telah membuat suasana restoran ini menjadi hening. Berpuluh-puluh pasang mata menatapku
heran.
“Siapa kamu dengan berani-beraninya membentak calon tunangan
saya? Apa kamu ada masalah? Sayang, kamu kenal dia?”
Si cowok brengsek itu berbalik seperti ingin memakanku. Badannya
besar, tinggi badannya mungkin 15 cm di atasku dan tubuhnya cukup atletis.
“iiihh amit-amit deh. Cuma lihat saja ogah, apalagi kenal.”
Dialah Febi. Yang selama ini kudamba-dambakan, yang
menurutku lebih daripada Arin, ternyata seorang iblis yang telah menginjak dan
mempermainkanku. Dan setelah mendengar jawaban itu, aku segera meninggalkannya.
Hatiku lebur menjadi abu. Darahku seperti berhenti. Aku seperti
ingin mati saja. Terpikirkan olehku hukum alam yang biasa disebut dengan karma.
Sekarang aku sangat mempercayai karma itu. Sungguh aku merasa berdosa pada
Arin. Sekarang tiba-tiba aku kepikiran padanya. Tapi aku tak sanggup lagi
karena selama ini aku telah membohonginya dan dengan kenyataan aku yang
mendapatkan batunya sendiri.
0 komentar:
Posting Komentar