Cerita Inspirasi: Titipan Terakhir (bag 5)


Tetapi bagiku Arin hanyalah masa laluku. Secantik bagaimanapun dirinya sekarang, dia hanya kuanggap kenangan yang biasa, yang tak perlu kuingat lagi. Dia duduk berdekatan denganku. Wajahnya tak seriang dulu. Mungkin dia menjadi salah tingkah, karena sekarang aku sudah sangat asing baginya. Jelas saja, karena gayaku tak sekolot dulu. Sekarang penampilanku telah jauh berbeda.
“gak mesen minum, Rin?”
Tanyaku membuka pembicaraan yang kaku sejak sepuluh menit berlalu. Tapi dia hanya menggelengkan kepalanya. Sekarang aku yang salah tingkah. Kami terdiam lagi.
Sejak tadi dia hanya tertunduk. Mungkin ia tak berani melihatku. Segera kugenggam tangannya, walau sebenarnya terpaksa. Aku hanya tak ingin membuatnya menangis di tempat ini dan membuat kegaduhan. Kulihat ia sedikit tersenyum, dan dengan cepat tangannya mencoba mengambil sesuatu dari dalam tas ranselnya. Sebuah kotak kecil berwarna merah yang telah terikat oleh pita berwarna biru. Sungguh lucu bentuknya.
“ini buat kamu.”
Aku segera mengambil kotak itu dan membukanya. Hatiku berdebar-debar. Ini adalah pemberian pertama Arin untukku. Dalam hati aku berharap kalau saja benda yang ada di dalamnya adalah sesuatu yang aku suka. Dan ternyata... sebuah jam tangan berwarna kuning yang dikelilingi oleh bulir-bulir mutiara imitasi di atasnya. Aku terkejut dan sangat dongkol. Ini adalah benda dengan warna dan model yang sangat aku benci. Wajahku kecut.
“aku pulang dulu ya, Ta.” Nampaknya dia tahu kalau aku sangat tidak menyukai benda ini. Tapi aku mencegahnya dan menawarkan diri untuk mengantarnya pulang. Tapi ia menolak. Dengan cepat ia bergegas pergi. Aku tak bisa apa-apa.
Aku masih duduk terdiam sambil menikmati sisa-sisa cappucino-ku. Kotak merah itu kutaruh sekenanya saja di atas meja. Tiba-tiba handphone-ku berbunyi. Ternyata bunyi alarm. Aku kaget sekali setelah melihat layar handphone-ku, yang ternyata hari ini adalah hari ulang tahun ke-20 Febi. Aku bergegas pergi dan membelikannya seikat bunga yang  cantik. Kotak merah itu terlupakan.
Di sepanjang perjalanan aku mengutuk-ngutuk diriku sendiri yang melupakan hari spesial ini. Karena aku tak ingin kehilangan sosok Febi yang begitu kudamba dan kucinta. Dan aku sangat menyayanginya.
Mungkin ini terlihat sedikit egois. Aku hanya butuh waktu sedetik untuk melupakan Arin dan segera teralihkan dengan Febi, sang kekasih gelapku. Aku sadar bahwa aku telah membagi cinta, yang mungkin tak diharapkan oleh semua wanita, tak terkecuali Arin.
“Maaf, Febi ada, Mbok?” tanyaku kepada Mbok Sina, pembantu rumah tangga keluarga besar Febi.
“Oh, Non Febi lagi pergi tuh sejak pagi. Katanya mau jalan-jalan, Mas.  Mau titip sesuatu?”
Kuambil handphone-ku dan segera menelfon Febi. Sekali, dua kali, hingga enam kali panggilan tak terjawab. Aku mulai gelisah. Kucoba mengiriminya sebuah SMS dan berharap Febi membalasnya. Mungkin ia marah padaku karena melupakan hari ulang tahunnya.
Di tengah perjalanan pulang aku melihat bahwa kenyataan tidak berpihak kepadaku.  Sungguh di luar dugaan, aku melihat Febi sedang  sedang bersama seorang pria di sebuah restoran seafood. Kepalaku seketika mendidih. Segera kuberhentikan motorku dan mendatanginya.
“Feb, ngapain kamu disini? Terus cowok ini siapa?”
Emosiku telah mencapai puncak. Mukaku merah, mataku basah. Tanpa kusadari aku telah membuat suasana restoran ini menjadi  hening. Berpuluh-puluh pasang mata menatapku heran.
“Siapa kamu dengan berani-beraninya membentak calon tunangan saya? Apa kamu ada masalah? Sayang, kamu kenal dia?”
Si cowok brengsek itu berbalik seperti ingin memakanku. Badannya besar, tinggi badannya mungkin 15 cm di atasku dan tubuhnya cukup atletis.
“iiihh amit-amit deh. Cuma lihat saja ogah, apalagi kenal.”
Dialah Febi. Yang selama ini kudamba-dambakan, yang menurutku lebih daripada Arin, ternyata seorang iblis yang telah menginjak dan mempermainkanku. Dan setelah mendengar jawaban itu, aku segera meninggalkannya.

Hatiku lebur menjadi abu. Darahku seperti berhenti. Aku seperti ingin mati saja. Terpikirkan olehku hukum alam yang biasa disebut dengan karma. Sekarang aku sangat mempercayai karma itu. Sungguh aku merasa berdosa pada Arin. Sekarang tiba-tiba aku kepikiran padanya. Tapi aku tak sanggup lagi karena selama ini aku telah membohonginya dan dengan kenyataan aku yang mendapatkan batunya sendiri.

Artikel Terkait

0 komentar: