Tangisan Seorang Penyair





Aku, tak lebih dari sebutir pasir yang jatuh dari genggaman,
Tertinggal, terinjak, dan terabaikan.
Aku, selayaknya lumpur hitam,
Yang telah mengotori selembar kain putih.
Aku, adalah ombak di pantai berangin,
Yang selalu kejam memisahkan bebatuan dari pelukannya.
Jadi siapakah aku ?
Aku hanyalah seorang penyair yang memandang semuanya dengan air mata.
Sekilas seperti monodrama, tetapi inginnya bersama.
Tak sedikit pula yang menganggapnya fatamorgana, tetapi punya ketegasan asa.
Jadi apakah kau dapat menyimpulkannya ?
Jelas tidak !
Karena hanya aku yang dapat mengetahui siapa diri ini.
Di tangankulah jawaban dari puncak yang ku telusuri.
Dan hanya dengan kakiku lah sehingga aku dapat menentukan arah yang akan ku tuju.
Maka biarkanlah mataku tetap menatap langit yang jingga,
Yang menggambarkan betapa sedihnya dunia ini.
Dunia yang tak lagi begitu nyata bagiku,
Yang selalu terselimuti kepalsuan, dan  kebohongan.
Semuanya tak lebih dari drama-drama klasikal tua,
Dengan seorang sutradara yang penuh keangkuhan.

Ya, tertawalah ! tertawalah melihat dunia ini.
Dan kau telah menertawakan dirimu sendiri.
Aku hanya ingin menangis, tangisan yang kuharapkan terdengar oleh kalbu yang  gelap.
Aku hanya ingin terdiam, dan hanya dapat berkata dalam imajinasiku.
Dan aku hanya akan dapat tersenyum, bila waktu telah bijaksana menilai dan menjawab semua gundahku.

Artikel Terkait

0 komentar: