Cerita Inspirasi: Titipan Terakhir (Bag 4)
Diposting oleh Unknown Selasa, 09 April 2013 di 05.57
Malam ini aku sangat bahagia. Aku merasa menjadi orang yang
paling sempurna di dunia ini karena kehadiran Febi di dalam hidupku. Bersamanya aku selalu
menjalani hari-hari yang indah dan berwarna. Dan yang paling membuatku bahagia
adalah karena kutahu dia sangat mencintaiku dengan segala kekuranganku.
Sejenak aku membayangkan kembali suasana tadi sore dimana
bibir hangatnya menyentuh dengan bibirku. Sebuah sensasi luar biasa yang telah
kurasakan. Badanku bergetar hebat saat kurasakan desahan nafasnya lebih dekat,
dan lebih dekat lagi, hingga kami terperangkap ke penjara nafsu yang tak dapat kami
elak lagi.
Tiba-tiba handphone-ku berdering.
“halo sayang? Kamu mau ajak aku jalan lagi? hehe.” sahutku
dengan girang ketika kuangkat telfon itu.
“iya sayang. Aku kangen banget sama kamu. Kamu udah nggak
sibuk?” Astaga! Ternyata yang menelfonku Arin. Aku menggurutu dalam hati karena
sudah salah mengira, terlebih lagi aku telah salah mengajak orang.
“ee..e.. ii.. iiya aku udah gak sibuk lagi kok. Kamu mau
ketemuan jam berapa?” jawabku terbata-bata.
“hmmm... besok kalo aku udah pulang les. Kita ketemuannya di
cafe favorit kita, bisa kan, sayang?”
Akhirnya aku terpaksa menerima ajakan Arin. Sebenarnya aku
sudah tak mau lagi bertemu dengannya tapi ini adalah kesalahanku sendiri, dan
aku mengutuk-ngutuk keras diriku.
@
Dengan langkah yang berat aku memasuki ruangan yang begitu
sangat klasik kurasa. Lampu-lampu oranye yang tidak berubah, derik-derik suara
pintu yang sudah asing kudengar, beriak air akuarium yang lama tak berirama di
telingaku, sebuah ruangan kafe dengan susunan tata ruang yang sangat sederhana
namun tetap saja dapat menggelorakan hatiku yang telah menjadi beku. Ya, ini
adalah kafe dimana aku dan Arin sering bertemu, memadu kasih dan cinta, tertawa
terbahak-bahak ataupun bertengkar hebat. Tapi itu dulu.
Segera kupesan secangkir Cappucino yang sangat aku suka
buatan kafe ini. Sengaja aku datang lebih cepat agar Arin mengira aku juga
sangat rindu dengannya. Agar tidak bosan, aku mengalihkan pikiranku dengan
mendengarkan musik melalui mp3 player handphone-ku.
Sekitar 30 menit, sebuah gerakan yang lembut telah melepas
earphone dari telingaku. Aku tersentak kaget dan berbalik. Senyum bibirnya
menyapaku dengan tenang, dan memelukku serta mencium pipiku dengan mesra.
Seorang wanita berkulit putih dan halus yang terbaluti sweater tipis berwarna
coklat. Rambutnya panjang dan hitam, matanya cantik tak tercela, tubuhnya
anggun dan menawan yang membuat mata lupa cara berpejam. Dialah Arin. Sore ini
dia terlihat sangat cantik. Tetapi wajahnya tak semerona dulu lagi. dia sangat
pucat.
Cerita Inspirasi: Titipan Terakhir (bag 3)
Diposting oleh Unknown Selasa, 26 Februari 2013 di 00.15
Sebenarnya rasa ku pada Arinda sudah tak ada
lagi. Mungkin sekarang, secara tak kusadari, aku hanya menaruh rasa kasihan
padanya, dan bukan cinta seperti dulu. Beruntai-untai cerita yang telah kami
bangun bersama-sama, terasa hilang tak berbekas karena kehadiran Febi dalam
hidupku. Bersama Febi, aku lebih merasa berarti, indah dan bercerita. Sangat
berbeda jika dibandingkan dengan Arinda.
Dengan cepat kumatikan handphoneku agar Arinda
tak menelfon lagi yang mungkin akan menggangguku bersama Febi lagi.
“Kamu dari mana, Ta?”
“Engg, ngg, mama yang nelfon. Katanya kalo
pulang jangan kemalaman.” Jawabku agak gugup.
Febi terlihat semakin cantik saja malam ini.
Jantungku berdetak hebat, keringat dinginku mulai membasahi bajuku. Aku rasa
ini adalah waktu yang tepat untuk menyatakan cintaku dengannya. Semangatku
menggebu-gebu tapi mulutku tak sejalan seperti yang kumau. Diam dan bisu.
Kulihat dia sedang asyik mendengarkan musik
dari handphone-nya sambil memejamkan mata. Ia semakin elok saja di mataku.
Wajahnya putih dan bersih, rambutnya yang panjang dan hitam terurai lembut
dipermainkan oleh angin malam yang sesepoi. Jemarinya panjang dan indah, lembut
tak terbayangkan rasanya. Serta harum badannya yang selalu saja membuatku mabuk
kepayang melayang-layang.
Kuusahakan sekuat tenaga untuk mengumpulkan
kepercayaan diriku. Sekarang sudah jam 10 malam, semakin aku membuang waktu,
semakin sedikit kesempatanku untuk menyatakan cintaku padanya malam ini.
Dengan sikap yang lembut, aku memegang
tangannya. Ia agak kaget dengan ulahku itu. Segera kulepaskan earphone yang
masih menempel di telinganya. Ia menurut saja.
“Engg...Feb, kamu seneng gak jalan sama aku?”
Aku memulai pembicaraan dengan suara yang terbata-bata. Ia berusaha tersenyum
melihatku, tapi tetap terdiam dalam kebingungannya.
“Aku hanya ingin kita lebih dekat lagi, Feb.
Bukan hanya sekedar teman biasa. Menurutku kamu itu spesial banget. Mau gak
kamu jadi pacar aku?”
Kurasakan tangannya basah oleh keringatnya
sendiri. Tapi, ia semakin menggenggam tanganku lebih erat lagi. Badanku
bergetar hebat menanti satu dua patah kata yang mungkin akan keluar dari bibir
merahnya. Lama kami terdiam dan salah tingkah. Darahku mulai terasa panas.
“Aku juga sayang kamu, Ta.”
Cukup. Hanya itu yang diucapkannya. Aku segera berdiri dan mendekatinya. Kucium
keningnya dan kupeluk tubuhnya hingga terasa aroma badannya. kurasakan juga
degup jantungnya yang semakin cepat. Terdengar sayup-sayup alunan lagu “Fall
For You”-nya Secondhand Serenade dari earphone yang tergeletak di atas meja,
begitu melarutkan kami ke dalam kesyahduan yang tak terkira indahnya.
“Sayang, makasih ya. Malam ini kamu telah
menjadikanku orang yang sangat sempurna di dunia ini.” Kubisikkan kata-kata
manis itu ketika kami telah sampai di depan rumahnya. Kupeluk dan kali ini
kucium bibirnya yang hangat.
@
Hari ini aku jalan-jalan keliling kota dengan
Febi. Tak terasa sudah sebulan kami menjalani hubungan yang romantis ini.
Hingga aku tak begitu memedulikan Arinda lagi. Toh juga Arinda jarang menelfonku. Paling cuma dua kali saja,
itupun pembicaraan kami sangat cepat. Yang ada dipikiranku saat ini hanyalah
nama Febi, gadis cantik dengan bodi yang aduhai.
Setelah merasa lelah, aku dan Febi singgah di
pinggiran pantai. Kami memesan soft drink dan sepiring kentang goreng. Suasana
tambah romantis saja, ditemani dengan garis-garis cahaya jingga matahari yang
menelusup di sela pondasi-pondasi kayu dan diiringi dengan alunan suara lembut
sang penyanyi cafe yang membawakan lagu “I believe I can Fly”-nya Bruno Mars.
Begitu merdu dan memeranjat kami berdua ke dalam jurang romantisme.
Berkali-kali aku merasa handphone-ku bergetar.
Sengaja ku silent agar tak mengganggu. Aku mengacuhkannya.
Dapatkah Kita Terbiasa?
Diposting oleh Unknown Senin, 18 Februari 2013 di 21.20
seluruh rongga-rongga nafasku kian tertusuk tajam dialiri hembusan nafas yang tak lagi kukenal.
Pertengkaran ego berpihak kepada akhir yang memilukan
merintih tangis hatiku yang sebenarnya tak bisa menerima.
Dan biarlah sang waktu bertanggung jawab dengan berhak atas kebijakannya.
Aku.
Kau.
Hubungan ini.
Dan siapakah yang telah mengubahmu?
Hendaklah kita menyatukan asa kita kembali.
Tapi dapatkah kita bisa?
Ini sudah seperti fatamorgana,
semakin kita mendekat ke arahnya, semakin ia nampak seperti bayang-bayang semu.
Teriakkanlah nama kita berdua ke awan putih, dan lebih keras lagi.
Tapi dapatkah kita bisa?
semakin lama ini telah menjadi sebuah kebohongan besar,
yang menghunus kita berdua ke jurang kegilaan.
Aku ingin kau dan aku kembali seperti yang dulu.
Tapi dapatkah kita terbiasa?
Terbiasa untuk menghilangkan kebohongan demi kebohongan kita?
Terbiasa untuk saling menerima?
Aku rasa aku akan mati,
mati karena cintamu.
Dan jika memang begitu, aku hanya ingin sendiri,
Foto-Foto Hot Terbaru (No Sensor)
Diposting oleh Unknown Minggu, 17 Februari 2013 di 22.11
0 komentar Label: Foto
Cerita Inspirasi: Titipan Terakhir (bag 2)
Diposting oleh Unknown di 21.25
Jujur saja aku merasa gerah. Hubungan ini
terasa biasa-biasa saja dan kuanggap ini hanyalah cinta monyet. Yang kurasakan
sudah tak ada sedikit pun sisi istimewa darinya. Kadang aku berfikir untuk
memutuskan hubungan ini, tapi aku tak sampai hati. Jujur saja dia adalah wanita
yang paling sulit aku dapatkan. Dia sangat pendiam dan sangat pintar. Lelaki
mana pun tak dapat begitu saja membaca hati dan pikirannya. Dia adalah wanita
yang baik, tetapi yang kukecewakan adalah dia sangat tidak kreatif, melankolis,
klise.
"Halo? Oh iya, Ma. Sebentar lagi kok. Ok!” Ia
segera menutup telfonnya dan memalingkan wajahnya ke arahku. Ketus. Dengan
cepat ia membereskan tasnya untuk segera pulang. Aku acuh.
“Kakak, gak pulang?” Tanyanya kepadaku yang
masih duduk menikmati secangkir cappucino-ku.
“Hmm, kamu duluan aja, ya. Aku masih pengen di
sini. Sayang nih cappucino-nya belum habis, he he he.” Jawabku kepadanya sambil
tersenyum kecut.
“Oke deh. Arin pulang duluan ya, Sayang.”
Bisiknya kecil sambil mencium pipi kananku. Dengan langkah yang terburu-buru ia keluar
dari kafe dan segera memanggil taksi.
Ini bukanlah hubungan yang ku mau. Tapi selalu
saja begitu. Seolah ia tak memikirkan kelanjutan hubungan ini. Aku acuh, dan
dia juga nampak acuh. Apakah ia juga merasakan hal yang sama denganku? Dan
kenapa aku dan dia harus mengalami hal seperti ini secara terus menerus?
Seharusnya ia menerima saja pinangan lelaki yang diberikan oleh orang tuanya
daripada harus menjalani hubungan bersamaku. Karena aku tak mau tersiksa
seperti ini. Jujur aku merasa sangat menyesal telah mengenalnya, dan aku sangat
ingin mengakhiri hubungan ini, tapi selalu saja mulutku tak bisa berkata
apa-apa di depannya.
Empat bulan telah berlalu. Dan hubungaku
dengan Arinda semakin kritis saja. Jujur karena aku telah menemukan sosok
wanita yang kuidam-idamkan sejak lama. Namanya Febi, teman SMP ku dulu. Selama
empat bulan ini aku merasa sangat bahagia bersamanya. Kami sering jalan bareng,
nonton di bioskop bareng, sekedar nyuci mata di Mall, serta ditambah wajahnya
yang semakin cantik sejak aku mengenalnya di SMP dulu, kulitnya putih dan
bening serta matanya yang masih sipit mempesona. Sontak konsentrasiku lebih
mengarah kepada Febi sekarang. Dan aku berhasil menutup hubungan ini dari
Arinda.
Sore ini aku dan Febi sedang menonton konser
dari band ternama. Suara bising tapi merdu terdengar memekikkan telinga di
lapangan yang telah dipenuhi oleh ribuan orang ini. Kami berdua melompat-lompat
seiring irama musik yang dimainkan. Dengan gayanya yang hanya memakai kaos biru
bertuliskan ‘What Would You Do?’ di bagian dadanya sehingga cukup membuat
otakku ngeres, dan dipadukan dengan celana pendek jeans yang agak tinggi dari
paha, mataku tak bisa berpaling darinya. Sungguh ia sangat cantik sore ini. Aku
merasa sangat beruntung bisa menjalani hubungan dengannya yang merupakan sosok
modis tapi romantis.
Setelah merasa lelah tak terbayagkan dengan
peluh keringat yang cukup membasahi baju, kami istirahat sejenak di sebuah kafe
terdekat. Ia hanya memesan jus tomat belanda kesukaannya dan aku memesan
secangkir cappucino hangat andalanku. Dengan sedikit gerakan yang terlatih ia
mengusap wajahku yang masih penuh oleh keringat dengan handuk yang dibawanya
dari rumah. Aku agak kaget tapi ia meneruskannya saja. Dan dengan leluasa aku
mencium punggung tangannya yang halus dan dibalas oleh senyum dan tatapan
manisnya. Suasananya sangat romantis dan kami larut ke dalam suasana ini.
Tapi tiba-tiba handphone ku bergetar. Ternyata dari
Arinda. Aku berusaha menjauhkan diri dari Febi agar ia tak curiga.
“Halo? Ada apa sih nelfon tengah malam gini?”
Nada suaraku penuh dengan emosi karena ia telah merusak suasana romantisku
bersama Febi.
“Enggak kok, Sayang. Aku cuma kangen banget
sama kamu.” Terdengar suaranya terisak dan serak. Jujur saja selama empat bulan
ini aku sangat jarang bertemu dengannya dengan alasan aku mempersiapkan ujian
masuk kuliahku.
“Iya aku juga kangen sama kamu. Tapi aku sibuk
banget nih sampai gak ada waktu buat ngehubungin kamu. Gini aja, besok aku
telfon kamu lagi.Aku lagi capek nih.” Emosiku masih belum padam.
Yang
kuinginkan hanya agar Arinda segera menutup telfonnya dan aku bisa melanjutkan
suasana romantis ini bersama Febi.
“Iya, aku ngerti kok, Sayang. Aku cuma pengen
ngasih tau kalo hari ini adalah hari tiga tahun hubungan kita. Arin pikir kamu
ingat, jadi aku tunggu aja telfon kamu sampe malam gini, tapi ternyata kamu
yang lupa. Kamu istirahat aja ya biar kamu gak sakit.” Aku mendengar suara itu
seperti tangisan. Jujur saja aku merasa sangat bersalah pada Arinda karena
melupakan hari yang spesial ini. Aku lama terdiam. Tapi belum sempat aku
menenangkannya, ia menutup telfonnya.
~(Bersambung ke bag 3)
~(Bersambung ke bag 3)
Cerita Inspirasi: Titipan Terakhir (bag 1)
Diposting oleh Unknown di 05.05
Pagi ini sang fajar menyambut langkahku dengan
cerah. Dengan mengendarai motor butut warisan kakek, aku bergegas menuju ke
sekolah demi melihat pengumuman kelulusan sekolahku. Nampak di pinggiran jalan
anak-anak sekolah yang lain sudah menampakkan histeria kelulusannya dengan
mengadakan ritual corat-coret baju putih abu-abunya. Melihat itu, aku semakin
tidak sabar melihat hasil pengumuman di sekolah. “Semoga saja aku lulus,”
benakku.
“yess, yess akhirnya selesai sudah perjuangan
kita, Ta.” Sambut Bagas kepadaku ketika aku baru saja memasuki gerbang sekolah.
“kita lulus, Gas?” tanyaku kepadanya untuk
meyakinkan diriku sendiri yang seolah tak percaya.
“Iya, Ta! Kelas kita lulus sepuluh ribu
persen, sob!” Jiwa-jiwa hiperboliknya mulai kumat lagi.
Segera kuparkir motorku
di lapangan dan berlari menuju ke papan pengumuman untuk memastikannya. Tidak
begitu lama aku telah mendapatkan namaku. Raden Tirtajaya Kusuma. Ya, karena
namaku berada di urutan keenam dari 250 siswa. Rasa senang di dalam otakku
mulai mengembang berkali-kali lipat dari sebelumnya. Benar kata Bagas, akhirnya
perjuangan mati-matian untuk menghadapi ujian nasional kemarin telah terbayar
tuntas. Aku segera berlari ke dalam kelas dan memeluk teman-temanku.
“Tirta...!!!” Si ceking Banu dengan cepat melompat
ke arahku sambil merentangkan tangannya untuk memelukku juga. Semuanya tampak
senang, semuanya tampak bahagia.
Kami merayakan kelulusan hari ini agak beda
dari yang lain. Secara serentak kami melepas baju seragam putih kami dan
dikumpulkan menjadi satu untuk disumbangkan ke Panti Asuhan. Setelah itu kami
mengadakan acara syukuran kecil-kecilan di rumah Surya, teman bangkuku sejak
kelas 2 SMA.
Setelah hari menjelang petang, tiba-tiba
handphone ku berdering. Ternyata dari Arinda, kekasihku yang selama dua tahun
ini menemaniku. Dia mengajakku untuk dinner, dan aku segera menyetujuinya. Memang
disetiap weekend kami selalu begitu.
Setelah mandi dan sedikit berdandan aku ke
rumahnya.
“udah siap?” Tanyaku kepada Arinda ketika aku
sudah berada di depan rumahnya. Sambil tersenyum ia menaiki motorku. Tak begitu
lama kami telah sampai di sebuah kafe favorit kita berdua. Dan kami pun segera
duduk di bangku dekat air mancur.
“Eh, selamat ya Kak atas kelulusannya, Arin
ikut seneng loh.” Dia masih seperti yang dulu. Tak sekalipun berubah.
Tingkahnya, senyumnya, raut wajahnya begitu manis dan lembut. Ia lebih muda dua
tahun dariku, dan kami satu sekolah. Mama sangat menyukainya, bahkan Mama
selalu mempertanyakan kesiapanku untuk meminangnya. Dan itu adalah hal yang sama
sekali belum kumengerti. Tapi yang menjadi kendalaku saat ini adalah karena
kedua orang tua Arinda tak menyukaiku. Entah mengapa.
“Makasih ya, Dek.” Jawabku singkat sambil
meminum cappucino yang telah kami pesan sedari tadi. Entah akhir-akhir ini aku telah
merasa bosan dengannya. Selama dua tahun kami bermain kucing-kucingan dengan
orang tuanya. Dia selalu berbohong demi bertemu denganku. Dan sepertinya aku
telah lelah menghadapi situasi seperti ini terus-menerus. Karena itu pula
sehingga kami tak bisa kemana-mana. Sekedar nonton di bioskop pun tak pernah.
Paling kami hanya bertemu di sekolah saja, setelah pulang ia dijemput oleh
supirnya. Sungguh tak ada kesempatan untuk berduaan lebih lama.
Teori Dinamika
Diposting oleh Unknown Kamis, 07 Februari 2013 di 23.46
Tak seharusnya aku berpeluh kesah,
Meniti hari-hari yang sebenarnya semakin kosong.
Gelap tak mungkin menanti terang lagi,
Ketika cinta mulai bersimpuh di depan sang pengadil yang
agung, sang waktu.
Dan aku terus berjalan, ke dalam lorong-lorong yang hitam.
Semakin jauh aku melangkah kenapa aku semakin enggan untuk
meneruskannya?
Sebenarnya apa ini?
Mengapa aku masih tetap merasa sendiri?
Apakah semuanya akan berakhir mengerikan?
Rasa yang dulu kurasakan sempurna,
Kini tak lebih dari sampah yang menjijikan.
Begitu hebatnya sang waktu berkata, begitu perkasanya sang
waktu memuji kenyataan.
Kenyataan yang sedari dulu tak pernah kubayangkan,
Kini telah menjadi hantu yang sangat menakutkan di setiap
malam-malamku.
Siapakah gerangan ‘dia’?
Sang manusia kedua, yang kini kuanggap telah menjadi bayang-bayang.
Dengan topeng-topeng segala rupanya,
Selalu berusaha menghunuskan pedangnya ke perutku secara
diam-diam.
Dirinya menyelundup dan menyusup dengan sunyi,
Darahnya seakan statis tak berbunyi.
Desahan nafasnya mulai memburu, seirama langkah yang
diringan-ringankan.
Sunyi, senyap, diam dan sangat pasti!
Ia telah menghunus pedangnya tepat ke jantungku.
Sebenarnya itu adalah teorema,
Teorema dinamika yang tangkas.
Begitu cepat ia memastikan,
Terlalu segan aku tuk membongkarnya.
Ini bukanlah jalan yang ingin ku tuju,
Beribu-ribu gerilya telah kulakukan,
Namun semuanya gagal,
Dan hanya menjadi puing-puing cerita yang terbuang.
Ini adalah fatamorgana,
Yang hanya dipenuhi janji-janji tak nyata.
Jujurlah lenteraku bahwa ini adalah kebohongan,
Dan aku tak membutuhkan kebahagiaan ini.
Langganan:
Postingan (Atom)