Cerita Inspirasi: Titipan Terakhir (bagian terakhir)
Diposting oleh Unknown Jumat, 13 September 2013 di 09.02
Dua minggu berlalu dengan kesendirianku.
Tiba-tiba handphoneku berbunyi. Ternyata Arin yang menelfon
dan segera kuangkat.
DUGG!!!!!!
Aku tekejut. Ternyata yang menelfon adalah Papa-nya Arin. Dia
memberiku kabar bahwa tadi siang Arin dibawa ke rumah sakit karena pingsan. Dia
memintaku untuk segera ke rumah sakit.
“Arin baik-baik aja, Tante?” segera kutanyakan keadaan Arin kepada Tante Farah, Ibunda Arin. Dia segera menyilahkanku duduk di sampingnya. Mata
dan hidungnya merah dan basah. Dengan suara yang terisak dan dikuat-kuatkan ia
mulai bercerita.
“Mungkin ini sudah waktunya Nak Tirta. Sudah lama Ibu berdoa
agar hari ini takkan pernah Ibu lihat......” Beliau berhenti berbicara. Pertahanannya
pecah. Tangis Tante Farah mulai keluar. Aku masih dalam kebingungan.
Setelah aku menenangkannya ia melanjutkan lagi. Ternyata
sejak kecil Arin telah mengidap penyakit cardiomyopathies. Sudah lama ia
berobat dan menjalani terapi. Sekarang sepertinya penyakit itu telah mencapai
ke titik yang sangat serius menjadi gagal jantung. Beliau menambahkan lagi
bahwa nanti serangkaian pembedahan akan dilakukan oleh tim dokter. Mungkin akan dilakukan juga transplantasi
jantung. Katanya juga sejak kemarin Arin menyebut-nyebut namaku. Jadi terpaksa,
mau tidak mau Om Hafid, Papa Arin, menghubungiku walaupun dia tak menyukaiku
Mendengar hal itu aku menjadi kaku. Membayangkan penyakit
itu saja aku tak kuat. Apalagi jika seorang Arin, gadis 17 tahun yang riang itu
mengalaminya. Akhirnya air mataku jatuh juga.
“Suster, boleh saya masuk?” aku sangat ingin melihat wajah
Arin walau sebentar. Si suster itu melarangku dengan alasan kondisi pasien
masih belum memungkinkan untuk dijenguk. Tapi aku memaksa. Tak lama setelah itu
seorang dokter berkata bahwa pasien sudah bisa ditemui tapi belum sadarkan diri.
Aku dan Tante Farah segera masuk setelah memakai pakaian steril.
Gadis itu terbaring lemas di ranjang. Kabel dan
selang-selang menggerayangi tubuhnya yang pucat seperti tembok. Segera aku
duduk di sampingnya dan menggenggam erat tangannya sambil menangis dan meminta
maaf. Sekitar setengah jam berselang Arin siuman dan memanggil namaku. Aku menyahut
dengan lembut. Tante Farah meninggalkan kami berdua.
Senyumannya masih seperti dulu. Begitu indah dan manis. Tapi
kini ia tak selincah dulu lagi. Gerakannya lemah, nafasnya sesak. Air mataku
jatuh lagi.
“kamu jangan nangis dong. Aku udah gak papa kok.” Katanya menenangkanku
tapi aku tak bisa menahan emosiku pada diriku sendiri yang selama ini tidak
mengetahui penyakitnya dan telah melupakannya serta menghianatinya seperti
kemarin.
“Ta, aku mau ngasih kamu sesuatu. Tapi kamu harus janji gak
nangis lagi. Tolong kamu ambilin di laci meja. Waktu sadar tadi aku nyuruh mama
simpan disitu.”
Tanpa menunggu lama aku segera membuka laci meja yang
terletak di sudut ruangan. Sebuah kotak merah itu lagi. Tangisku semakin
menjadi. Ternyata Arin mengambilnya lagi setelah aku melupakannya di cafe itu.
“Ta, mungkin itu bukan kado spesial untuk kamu. Tapi aku
harap se................” tiba-tiba badan Arin kejang. Matanya melotot tajam
dan nafasnya terengah. Segera kupanggil dokter untuk menanganinya. Kupeluk kotak
itu dengan erat.
@
Dua setengah jam berlalu.
Sekarang pukul 23.47, Aku duduk disini, di samping ranjang
terakhir Arin. Air mataku begitu giat keluar dari penampungannya hingga bajuku
menjadi agak basah. Langit sangat gelap tertutup awan yang menghitam. Berintik hujan
terdengar jatuh mengisi suasana, begitu mengisyaratkan kelabu hati. Sekarang semuanya
usai sudah. Perjuangan dan penderitaannya telah berakhir. Aku telah kalah.
Gadis cantik riang yang memiliki wajah lembut itu telah
tiada. Keceriaannya telah punah, senyumnya telah berakhir. Kini semuanya hanya
tinggal penyesalanku saja. Yang tak dapat menemaninya lebih lama, yag tak dapat
mengisi waktu-waktu terakhirnya bersama-sama. Kini hanya kotak merah ini yang
masih ada. Segera kubuka pengikat dan penutupnya. Jam tangan itu lagi. aku
menggenggamnya dengan erat sambil menangis. Tetapi ada yang lain, sebuah
lipatan kertas bergambar Sailormoon di dasar kotak itu. Aku membacanya. Isak tangisku
beradu dengan deras hujan yang menyerbu.
~
The End
Cerita Inspirasi: Titipan Terakhir (bag 5)
Diposting oleh Unknown di 08.53
Tetapi bagiku Arin hanyalah masa laluku. Secantik
bagaimanapun dirinya sekarang, dia hanya kuanggap kenangan yang biasa, yang tak
perlu kuingat lagi. Dia duduk berdekatan denganku. Wajahnya tak seriang dulu.
Mungkin dia menjadi salah tingkah, karena sekarang aku sudah sangat asing
baginya. Jelas saja, karena gayaku tak sekolot dulu. Sekarang penampilanku
telah jauh berbeda.
“gak mesen minum, Rin?”
Tanyaku membuka pembicaraan yang kaku sejak sepuluh menit berlalu.
Tapi dia hanya menggelengkan kepalanya. Sekarang aku yang salah tingkah. Kami
terdiam lagi.
Sejak tadi dia hanya tertunduk. Mungkin ia tak berani
melihatku. Segera kugenggam tangannya, walau sebenarnya terpaksa. Aku hanya tak
ingin membuatnya menangis di tempat ini dan membuat kegaduhan. Kulihat ia
sedikit tersenyum, dan dengan cepat tangannya mencoba mengambil sesuatu dari
dalam tas ranselnya. Sebuah kotak kecil berwarna merah yang telah terikat oleh
pita berwarna biru. Sungguh lucu bentuknya.
“ini buat kamu.”
Aku segera mengambil kotak itu dan membukanya. Hatiku
berdebar-debar. Ini adalah pemberian pertama Arin untukku. Dalam hati aku
berharap kalau saja benda yang ada di dalamnya adalah sesuatu yang aku suka.
Dan ternyata... sebuah jam tangan berwarna kuning yang dikelilingi oleh
bulir-bulir mutiara imitasi di atasnya. Aku terkejut dan sangat dongkol. Ini
adalah benda dengan warna dan model yang sangat aku benci. Wajahku kecut.
“aku pulang dulu ya, Ta.” Nampaknya dia tahu kalau aku
sangat tidak menyukai benda ini. Tapi aku mencegahnya dan menawarkan diri untuk
mengantarnya pulang. Tapi ia menolak. Dengan cepat ia bergegas pergi. Aku tak
bisa apa-apa.
Aku masih duduk terdiam sambil menikmati sisa-sisa
cappucino-ku. Kotak merah itu kutaruh sekenanya saja di atas meja. Tiba-tiba
handphone-ku berbunyi. Ternyata bunyi alarm. Aku kaget sekali setelah melihat
layar handphone-ku, yang ternyata hari ini adalah hari ulang tahun ke-20 Febi. Aku
bergegas pergi dan membelikannya seikat bunga yang cantik. Kotak merah itu terlupakan.
Di sepanjang perjalanan aku mengutuk-ngutuk diriku sendiri
yang melupakan hari spesial ini. Karena aku tak ingin kehilangan sosok Febi
yang begitu kudamba dan kucinta. Dan aku sangat menyayanginya.
Mungkin ini terlihat sedikit egois. Aku hanya butuh waktu
sedetik untuk melupakan Arin dan segera teralihkan dengan Febi, sang kekasih
gelapku. Aku sadar bahwa aku telah membagi cinta, yang mungkin tak diharapkan
oleh semua wanita, tak terkecuali Arin.
“Maaf, Febi ada, Mbok?” tanyaku kepada Mbok Sina, pembantu
rumah tangga keluarga besar Febi.
“Oh, Non Febi lagi pergi tuh sejak pagi. Katanya mau
jalan-jalan, Mas. Mau titip sesuatu?”
Kuambil handphone-ku dan segera menelfon Febi. Sekali, dua
kali, hingga enam kali panggilan tak terjawab. Aku mulai gelisah. Kucoba mengiriminya
sebuah SMS dan berharap Febi membalasnya. Mungkin ia marah padaku karena
melupakan hari ulang tahunnya.
Di tengah perjalanan pulang aku melihat bahwa kenyataan
tidak berpihak kepadaku. Sungguh di luar
dugaan, aku melihat Febi sedang sedang
bersama seorang pria di sebuah restoran seafood. Kepalaku seketika mendidih. Segera
kuberhentikan motorku dan mendatanginya.
“Feb, ngapain kamu disini? Terus cowok ini siapa?”
Emosiku telah mencapai puncak. Mukaku merah, mataku basah. Tanpa
kusadari aku telah membuat suasana restoran ini menjadi hening. Berpuluh-puluh pasang mata menatapku
heran.
“Siapa kamu dengan berani-beraninya membentak calon tunangan
saya? Apa kamu ada masalah? Sayang, kamu kenal dia?”
Si cowok brengsek itu berbalik seperti ingin memakanku. Badannya
besar, tinggi badannya mungkin 15 cm di atasku dan tubuhnya cukup atletis.
“iiihh amit-amit deh. Cuma lihat saja ogah, apalagi kenal.”
Dialah Febi. Yang selama ini kudamba-dambakan, yang
menurutku lebih daripada Arin, ternyata seorang iblis yang telah menginjak dan
mempermainkanku. Dan setelah mendengar jawaban itu, aku segera meninggalkannya.
Hatiku lebur menjadi abu. Darahku seperti berhenti. Aku seperti
ingin mati saja. Terpikirkan olehku hukum alam yang biasa disebut dengan karma.
Sekarang aku sangat mempercayai karma itu. Sungguh aku merasa berdosa pada
Arin. Sekarang tiba-tiba aku kepikiran padanya. Tapi aku tak sanggup lagi
karena selama ini aku telah membohonginya dan dengan kenyataan aku yang
mendapatkan batunya sendiri.
Ironi
Diposting oleh Unknown Senin, 24 Juni 2013 di 18.32
kini tibalah saatnya kita bertemu dengan sebuah titik,
dimana kita berada dalam bayang-bayang,
yang tiba-tiba menggembung dan meletup,
mengironi kebahagiaan, merenggut petaka,
dan akhirnya memisahkan kita jauh dan lebih jauh
kini janji itu tak seelok dulu,
termakan habis oleh waktu yang begitu kejam,
dan aku hanya bisa termangu dan menepuk tanganku, sendiri,
menyadari betapa megahnya parasmu,
yang memang membuat para setan-setan mabuk untuk mendekatimu,
sejalan dengan apa yang telah kau terbiasakan.
inilah ironi kita.
sebuah makna yang sederhana namun begitu kejam,
menemui dan menarik kita berdua ke dalam satu zona,
zona merah yang seharusnya kita lewati, jika kau mau.
sadarilah betapa indah anugerahNya untukmu
yang membuatmu utuh dan sempurna,
tingkah laku yang lembut, serta desahan suaramu yang begitu menggoda,
dan aku pun menyadari,
aku telah terjebak kedalam dunia ironi,
sebuah kefanaan yang terlalu singkat nan menyakitkan.
aku bahagia bukan karena itu semua,
tapi aku akan siap menunggu,
ketika dirimu memang lebih bahagia bersama orang lain,
dan aku telah terbiasa dengan hal itu.
[11011]
Cerita Inspirasi: Titipan Terakhir (Bag 4)
Diposting oleh Unknown Selasa, 09 April 2013 di 05.57
Malam ini aku sangat bahagia. Aku merasa menjadi orang yang
paling sempurna di dunia ini karena kehadiran Febi di dalam hidupku. Bersamanya aku selalu
menjalani hari-hari yang indah dan berwarna. Dan yang paling membuatku bahagia
adalah karena kutahu dia sangat mencintaiku dengan segala kekuranganku.
Sejenak aku membayangkan kembali suasana tadi sore dimana
bibir hangatnya menyentuh dengan bibirku. Sebuah sensasi luar biasa yang telah
kurasakan. Badanku bergetar hebat saat kurasakan desahan nafasnya lebih dekat,
dan lebih dekat lagi, hingga kami terperangkap ke penjara nafsu yang tak dapat kami
elak lagi.
Tiba-tiba handphone-ku berdering.
“halo sayang? Kamu mau ajak aku jalan lagi? hehe.” sahutku
dengan girang ketika kuangkat telfon itu.
“iya sayang. Aku kangen banget sama kamu. Kamu udah nggak
sibuk?” Astaga! Ternyata yang menelfonku Arin. Aku menggurutu dalam hati karena
sudah salah mengira, terlebih lagi aku telah salah mengajak orang.
“ee..e.. ii.. iiya aku udah gak sibuk lagi kok. Kamu mau
ketemuan jam berapa?” jawabku terbata-bata.
“hmmm... besok kalo aku udah pulang les. Kita ketemuannya di
cafe favorit kita, bisa kan, sayang?”
Akhirnya aku terpaksa menerima ajakan Arin. Sebenarnya aku
sudah tak mau lagi bertemu dengannya tapi ini adalah kesalahanku sendiri, dan
aku mengutuk-ngutuk keras diriku.
@
Dengan langkah yang berat aku memasuki ruangan yang begitu
sangat klasik kurasa. Lampu-lampu oranye yang tidak berubah, derik-derik suara
pintu yang sudah asing kudengar, beriak air akuarium yang lama tak berirama di
telingaku, sebuah ruangan kafe dengan susunan tata ruang yang sangat sederhana
namun tetap saja dapat menggelorakan hatiku yang telah menjadi beku. Ya, ini
adalah kafe dimana aku dan Arin sering bertemu, memadu kasih dan cinta, tertawa
terbahak-bahak ataupun bertengkar hebat. Tapi itu dulu.
Segera kupesan secangkir Cappucino yang sangat aku suka
buatan kafe ini. Sengaja aku datang lebih cepat agar Arin mengira aku juga
sangat rindu dengannya. Agar tidak bosan, aku mengalihkan pikiranku dengan
mendengarkan musik melalui mp3 player handphone-ku.
Sekitar 30 menit, sebuah gerakan yang lembut telah melepas
earphone dari telingaku. Aku tersentak kaget dan berbalik. Senyum bibirnya
menyapaku dengan tenang, dan memelukku serta mencium pipiku dengan mesra.
Seorang wanita berkulit putih dan halus yang terbaluti sweater tipis berwarna
coklat. Rambutnya panjang dan hitam, matanya cantik tak tercela, tubuhnya
anggun dan menawan yang membuat mata lupa cara berpejam. Dialah Arin. Sore ini
dia terlihat sangat cantik. Tetapi wajahnya tak semerona dulu lagi. dia sangat
pucat.
Cerita Inspirasi: Titipan Terakhir (bag 3)
Diposting oleh Unknown Selasa, 26 Februari 2013 di 00.15
Sebenarnya rasa ku pada Arinda sudah tak ada
lagi. Mungkin sekarang, secara tak kusadari, aku hanya menaruh rasa kasihan
padanya, dan bukan cinta seperti dulu. Beruntai-untai cerita yang telah kami
bangun bersama-sama, terasa hilang tak berbekas karena kehadiran Febi dalam
hidupku. Bersama Febi, aku lebih merasa berarti, indah dan bercerita. Sangat
berbeda jika dibandingkan dengan Arinda.
Dengan cepat kumatikan handphoneku agar Arinda
tak menelfon lagi yang mungkin akan menggangguku bersama Febi lagi.
“Kamu dari mana, Ta?”
“Engg, ngg, mama yang nelfon. Katanya kalo
pulang jangan kemalaman.” Jawabku agak gugup.
Febi terlihat semakin cantik saja malam ini.
Jantungku berdetak hebat, keringat dinginku mulai membasahi bajuku. Aku rasa
ini adalah waktu yang tepat untuk menyatakan cintaku dengannya. Semangatku
menggebu-gebu tapi mulutku tak sejalan seperti yang kumau. Diam dan bisu.
Kulihat dia sedang asyik mendengarkan musik
dari handphone-nya sambil memejamkan mata. Ia semakin elok saja di mataku.
Wajahnya putih dan bersih, rambutnya yang panjang dan hitam terurai lembut
dipermainkan oleh angin malam yang sesepoi. Jemarinya panjang dan indah, lembut
tak terbayangkan rasanya. Serta harum badannya yang selalu saja membuatku mabuk
kepayang melayang-layang.
Kuusahakan sekuat tenaga untuk mengumpulkan
kepercayaan diriku. Sekarang sudah jam 10 malam, semakin aku membuang waktu,
semakin sedikit kesempatanku untuk menyatakan cintaku padanya malam ini.
Dengan sikap yang lembut, aku memegang
tangannya. Ia agak kaget dengan ulahku itu. Segera kulepaskan earphone yang
masih menempel di telinganya. Ia menurut saja.
“Engg...Feb, kamu seneng gak jalan sama aku?”
Aku memulai pembicaraan dengan suara yang terbata-bata. Ia berusaha tersenyum
melihatku, tapi tetap terdiam dalam kebingungannya.
“Aku hanya ingin kita lebih dekat lagi, Feb.
Bukan hanya sekedar teman biasa. Menurutku kamu itu spesial banget. Mau gak
kamu jadi pacar aku?”
Kurasakan tangannya basah oleh keringatnya
sendiri. Tapi, ia semakin menggenggam tanganku lebih erat lagi. Badanku
bergetar hebat menanti satu dua patah kata yang mungkin akan keluar dari bibir
merahnya. Lama kami terdiam dan salah tingkah. Darahku mulai terasa panas.
“Aku juga sayang kamu, Ta.”
Cukup. Hanya itu yang diucapkannya. Aku segera berdiri dan mendekatinya. Kucium
keningnya dan kupeluk tubuhnya hingga terasa aroma badannya. kurasakan juga
degup jantungnya yang semakin cepat. Terdengar sayup-sayup alunan lagu “Fall
For You”-nya Secondhand Serenade dari earphone yang tergeletak di atas meja,
begitu melarutkan kami ke dalam kesyahduan yang tak terkira indahnya.
“Sayang, makasih ya. Malam ini kamu telah
menjadikanku orang yang sangat sempurna di dunia ini.” Kubisikkan kata-kata
manis itu ketika kami telah sampai di depan rumahnya. Kupeluk dan kali ini
kucium bibirnya yang hangat.
@
Hari ini aku jalan-jalan keliling kota dengan
Febi. Tak terasa sudah sebulan kami menjalani hubungan yang romantis ini.
Hingga aku tak begitu memedulikan Arinda lagi. Toh juga Arinda jarang menelfonku. Paling cuma dua kali saja,
itupun pembicaraan kami sangat cepat. Yang ada dipikiranku saat ini hanyalah
nama Febi, gadis cantik dengan bodi yang aduhai.
Setelah merasa lelah, aku dan Febi singgah di
pinggiran pantai. Kami memesan soft drink dan sepiring kentang goreng. Suasana
tambah romantis saja, ditemani dengan garis-garis cahaya jingga matahari yang
menelusup di sela pondasi-pondasi kayu dan diiringi dengan alunan suara lembut
sang penyanyi cafe yang membawakan lagu “I believe I can Fly”-nya Bruno Mars.
Begitu merdu dan memeranjat kami berdua ke dalam jurang romantisme.
Berkali-kali aku merasa handphone-ku bergetar.
Sengaja ku silent agar tak mengganggu. Aku mengacuhkannya.
Dapatkah Kita Terbiasa?
Diposting oleh Unknown Senin, 18 Februari 2013 di 21.20
seluruh rongga-rongga nafasku kian tertusuk tajam dialiri hembusan nafas yang tak lagi kukenal.
Pertengkaran ego berpihak kepada akhir yang memilukan
merintih tangis hatiku yang sebenarnya tak bisa menerima.
Dan biarlah sang waktu bertanggung jawab dengan berhak atas kebijakannya.
Aku.
Kau.
Hubungan ini.
Dan siapakah yang telah mengubahmu?
Hendaklah kita menyatukan asa kita kembali.
Tapi dapatkah kita bisa?
Ini sudah seperti fatamorgana,
semakin kita mendekat ke arahnya, semakin ia nampak seperti bayang-bayang semu.
Teriakkanlah nama kita berdua ke awan putih, dan lebih keras lagi.
Tapi dapatkah kita bisa?
semakin lama ini telah menjadi sebuah kebohongan besar,
yang menghunus kita berdua ke jurang kegilaan.
Aku ingin kau dan aku kembali seperti yang dulu.
Tapi dapatkah kita terbiasa?
Terbiasa untuk menghilangkan kebohongan demi kebohongan kita?
Terbiasa untuk saling menerima?
Aku rasa aku akan mati,
mati karena cintamu.
Dan jika memang begitu, aku hanya ingin sendiri,
Foto-Foto Hot Terbaru (No Sensor)
Diposting oleh Unknown Minggu, 17 Februari 2013 di 22.11
0 komentar Label: Foto
Langganan:
Postingan (Atom)