Membagi Cinta


Telah lama kujaga cinta ini hanya untukmu
Penjarakan rasa ini agar kau tahu aku hanya milikmu
Dan semuanya kurasa begitu indah
Ku rela mati tuk pertahankan cinta ini
Dan tak pernah kusadari dirimu telah membagi cinta

Sungguh aku tak kuasa
Bila tanpamu di sini untukku
Kau pasti takkan mengerti
Rasa yang kau hianati

Perih hati tak bisa menerima
Kehadirannya mengisi hatimu
Walau berat kurasa
Akan kujalani


Song by Detective Joe

Selamat Ulang Tahun








Hari ini ku merangkai kata
Untuk jiwamu yang bahagia
Sang mentari menanti senyumanmu
Untukmu dan semua yang terindah

Hari ini kau menguntai mimpi
Demi hari yang telah pergi
Hidup bukan hanya sekedar cerita
Untukmu lebih indah

Selamat ulang tahun untukmu
Dariku yang teristimewa
Selamat Ulang tahun untukmu
Beri arti jejak langkahmu


Song by Detective Joe

Wanita Terhebat Yang Mencintaiku


Terhampar langit cerah yang tersenyum dan menanti kita
Ketika kita berjalan di bawahnya, terhias senyum mensyukuri nikmat-Nya
Ataukah sebuah memori klasik yang berputar dengan kencang
Disaat kau dan aku, kita bersama, saling mengikat janji-janji dewasa

Kau, wanita terhebat yang mencintaiku
Yang selalu kurindukan kehadirannya

Demi Tuhan, aku sangat beruntung memilikimu
Yang tak disangka kau tumbuh menjadi wanita terhebat yang pernah ada
Seberapa pantaskah kau mencintaiku yang rapuh?
Dan kau percaya kita dapat melakukannya

Kelembutanmu menyapa hari walau sedemikian kerasnya
Tak sekalipun kau langkahkan kakimu untuk mundur,
Meski sedikit dalam tangis...
Tapi terkadang juga gejolak darahmu panas menguap

Kau, wanita terhebat yang mencintaiku
Yang selalu terhempas oleh kekuatan egoku

Siapa saja yang memandangmu akan terpesona
Bukan hanya karena parasmu, bukan hanya karena senyummu
Tapi karena tata laku indahmu
Yang mencuri pandangan dunia untuk memujimu

Tetaplah kita mengukir dunia ini bersama
Memotong garis-garis ketidakmungkinan yang selalu mendekat
Atau memecah sekumpulan cermin masa lalu yang mengancam
Bahkan mengalahkan teori-teori relativitas si jenius fisika

Kau, Wanita terhebat yang mencintaiku
Buatlah aku semakin terjatuh dalam pesonamu
Untuk menyadarkanku dari keputusasaan
Bahwa betapa mudah dan indahnya dunia ini untuk dijalani

Pegang erat tanganku,
dan lebih erat lagi
Dan bawa aku berlari, sejauh mungkin yang kau bisa
Hingga aku dapat melihat cahaya kehidupan yang akan kau ciptakan

Tetaplah menjadi wanita terhebat yang mencintaiku
Sekarang dan selamanya....



Cerita Inspirasi: Titipan Terakhir (bagian terakhir)

Dua minggu berlalu dengan kesendirianku.
Tiba-tiba handphoneku berbunyi. Ternyata Arin yang menelfon dan segera  kuangkat.
DUGG!!!!!!
Aku tekejut. Ternyata yang menelfon adalah Papa-nya Arin. Dia memberiku kabar bahwa tadi siang Arin dibawa ke rumah sakit karena pingsan. Dia memintaku untuk segera ke rumah sakit.
“Arin baik-baik aja, Tante?” segera kutanyakan keadaan Arin kepada Tante Farah, Ibunda Arin. Dia segera menyilahkanku duduk di sampingnya. Mata dan hidungnya merah dan basah. Dengan suara yang terisak dan dikuat-kuatkan ia mulai bercerita.
“Mungkin ini sudah waktunya Nak Tirta. Sudah lama Ibu berdoa agar hari ini takkan pernah Ibu lihat......” Beliau berhenti berbicara. Pertahanannya pecah. Tangis Tante Farah mulai keluar. Aku masih dalam kebingungan.
Setelah aku menenangkannya ia melanjutkan lagi. Ternyata sejak kecil Arin telah mengidap penyakit cardiomyopathies. Sudah lama ia berobat dan menjalani terapi. Sekarang sepertinya penyakit itu telah mencapai ke titik yang sangat serius menjadi gagal jantung. Beliau menambahkan lagi bahwa nanti serangkaian pembedahan akan dilakukan oleh tim dokter.  Mungkin akan dilakukan juga transplantasi jantung. Katanya juga sejak kemarin Arin menyebut-nyebut namaku. Jadi terpaksa, mau tidak mau Om Hafid, Papa Arin, menghubungiku walaupun dia tak menyukaiku
Mendengar hal itu aku menjadi kaku. Membayangkan penyakit itu saja aku tak kuat. Apalagi jika seorang Arin, gadis 17 tahun yang riang itu mengalaminya. Akhirnya air mataku jatuh juga.
“Suster, boleh saya masuk?” aku sangat ingin melihat wajah Arin walau sebentar. Si suster itu melarangku dengan alasan kondisi pasien masih belum memungkinkan untuk dijenguk. Tapi aku memaksa. Tak lama setelah itu seorang dokter berkata bahwa pasien sudah bisa ditemui tapi belum sadarkan diri. Aku dan Tante Farah segera masuk setelah memakai pakaian steril.
Gadis itu terbaring lemas di ranjang. Kabel dan selang-selang menggerayangi tubuhnya yang pucat seperti tembok. Segera aku duduk di sampingnya dan menggenggam erat tangannya sambil menangis dan meminta maaf. Sekitar setengah jam berselang Arin siuman dan memanggil namaku. Aku menyahut dengan lembut. Tante Farah meninggalkan kami berdua.
Senyumannya masih seperti dulu. Begitu indah dan manis. Tapi kini ia tak selincah dulu lagi. Gerakannya lemah, nafasnya sesak. Air mataku jatuh lagi.
“kamu jangan nangis dong. Aku udah gak papa kok.” Katanya menenangkanku tapi aku tak bisa menahan emosiku pada diriku sendiri yang selama ini tidak mengetahui penyakitnya dan telah melupakannya serta menghianatinya seperti kemarin.
“Ta, aku mau ngasih kamu sesuatu. Tapi kamu harus janji gak nangis lagi. Tolong kamu ambilin di laci meja. Waktu sadar tadi aku nyuruh mama simpan disitu.”
Tanpa menunggu lama aku segera membuka laci meja yang terletak di sudut ruangan. Sebuah kotak merah itu lagi. Tangisku semakin menjadi. Ternyata Arin mengambilnya lagi setelah aku melupakannya di cafe itu.
“Ta, mungkin itu bukan kado spesial untuk kamu. Tapi aku harap se................” tiba-tiba badan Arin kejang. Matanya melotot tajam dan nafasnya terengah. Segera kupanggil dokter untuk menanganinya. Kupeluk kotak itu dengan erat.
@
Dua setengah jam berlalu.
Sekarang pukul 23.47, Aku duduk disini, di samping ranjang terakhir Arin. Air mataku begitu giat keluar dari penampungannya hingga bajuku menjadi agak basah. Langit sangat gelap tertutup awan yang menghitam. Berintik hujan terdengar jatuh mengisi suasana, begitu mengisyaratkan kelabu hati. Sekarang semuanya usai sudah. Perjuangan dan penderitaannya telah berakhir. Aku telah kalah.

Gadis cantik riang yang memiliki wajah lembut itu telah tiada. Keceriaannya telah punah, senyumnya telah berakhir. Kini semuanya hanya tinggal penyesalanku saja. Yang tak dapat menemaninya lebih lama, yag tak dapat mengisi waktu-waktu terakhirnya bersama-sama. Kini hanya kotak merah ini yang masih ada. Segera kubuka pengikat dan penutupnya. Jam tangan itu lagi. aku menggenggamnya dengan erat sambil menangis. Tetapi ada yang lain, sebuah lipatan kertas bergambar Sailormoon di dasar kotak itu. Aku membacanya. Isak tangisku beradu dengan deras hujan yang menyerbu.


~
The End

Cerita Inspirasi: Titipan Terakhir (bag 5)


Tetapi bagiku Arin hanyalah masa laluku. Secantik bagaimanapun dirinya sekarang, dia hanya kuanggap kenangan yang biasa, yang tak perlu kuingat lagi. Dia duduk berdekatan denganku. Wajahnya tak seriang dulu. Mungkin dia menjadi salah tingkah, karena sekarang aku sudah sangat asing baginya. Jelas saja, karena gayaku tak sekolot dulu. Sekarang penampilanku telah jauh berbeda.
“gak mesen minum, Rin?”
Tanyaku membuka pembicaraan yang kaku sejak sepuluh menit berlalu. Tapi dia hanya menggelengkan kepalanya. Sekarang aku yang salah tingkah. Kami terdiam lagi.
Sejak tadi dia hanya tertunduk. Mungkin ia tak berani melihatku. Segera kugenggam tangannya, walau sebenarnya terpaksa. Aku hanya tak ingin membuatnya menangis di tempat ini dan membuat kegaduhan. Kulihat ia sedikit tersenyum, dan dengan cepat tangannya mencoba mengambil sesuatu dari dalam tas ranselnya. Sebuah kotak kecil berwarna merah yang telah terikat oleh pita berwarna biru. Sungguh lucu bentuknya.
“ini buat kamu.”
Aku segera mengambil kotak itu dan membukanya. Hatiku berdebar-debar. Ini adalah pemberian pertama Arin untukku. Dalam hati aku berharap kalau saja benda yang ada di dalamnya adalah sesuatu yang aku suka. Dan ternyata... sebuah jam tangan berwarna kuning yang dikelilingi oleh bulir-bulir mutiara imitasi di atasnya. Aku terkejut dan sangat dongkol. Ini adalah benda dengan warna dan model yang sangat aku benci. Wajahku kecut.
“aku pulang dulu ya, Ta.” Nampaknya dia tahu kalau aku sangat tidak menyukai benda ini. Tapi aku mencegahnya dan menawarkan diri untuk mengantarnya pulang. Tapi ia menolak. Dengan cepat ia bergegas pergi. Aku tak bisa apa-apa.
Aku masih duduk terdiam sambil menikmati sisa-sisa cappucino-ku. Kotak merah itu kutaruh sekenanya saja di atas meja. Tiba-tiba handphone-ku berbunyi. Ternyata bunyi alarm. Aku kaget sekali setelah melihat layar handphone-ku, yang ternyata hari ini adalah hari ulang tahun ke-20 Febi. Aku bergegas pergi dan membelikannya seikat bunga yang  cantik. Kotak merah itu terlupakan.
Di sepanjang perjalanan aku mengutuk-ngutuk diriku sendiri yang melupakan hari spesial ini. Karena aku tak ingin kehilangan sosok Febi yang begitu kudamba dan kucinta. Dan aku sangat menyayanginya.
Mungkin ini terlihat sedikit egois. Aku hanya butuh waktu sedetik untuk melupakan Arin dan segera teralihkan dengan Febi, sang kekasih gelapku. Aku sadar bahwa aku telah membagi cinta, yang mungkin tak diharapkan oleh semua wanita, tak terkecuali Arin.
“Maaf, Febi ada, Mbok?” tanyaku kepada Mbok Sina, pembantu rumah tangga keluarga besar Febi.
“Oh, Non Febi lagi pergi tuh sejak pagi. Katanya mau jalan-jalan, Mas.  Mau titip sesuatu?”
Kuambil handphone-ku dan segera menelfon Febi. Sekali, dua kali, hingga enam kali panggilan tak terjawab. Aku mulai gelisah. Kucoba mengiriminya sebuah SMS dan berharap Febi membalasnya. Mungkin ia marah padaku karena melupakan hari ulang tahunnya.
Di tengah perjalanan pulang aku melihat bahwa kenyataan tidak berpihak kepadaku.  Sungguh di luar dugaan, aku melihat Febi sedang  sedang bersama seorang pria di sebuah restoran seafood. Kepalaku seketika mendidih. Segera kuberhentikan motorku dan mendatanginya.
“Feb, ngapain kamu disini? Terus cowok ini siapa?”
Emosiku telah mencapai puncak. Mukaku merah, mataku basah. Tanpa kusadari aku telah membuat suasana restoran ini menjadi  hening. Berpuluh-puluh pasang mata menatapku heran.
“Siapa kamu dengan berani-beraninya membentak calon tunangan saya? Apa kamu ada masalah? Sayang, kamu kenal dia?”
Si cowok brengsek itu berbalik seperti ingin memakanku. Badannya besar, tinggi badannya mungkin 15 cm di atasku dan tubuhnya cukup atletis.
“iiihh amit-amit deh. Cuma lihat saja ogah, apalagi kenal.”
Dialah Febi. Yang selama ini kudamba-dambakan, yang menurutku lebih daripada Arin, ternyata seorang iblis yang telah menginjak dan mempermainkanku. Dan setelah mendengar jawaban itu, aku segera meninggalkannya.

Hatiku lebur menjadi abu. Darahku seperti berhenti. Aku seperti ingin mati saja. Terpikirkan olehku hukum alam yang biasa disebut dengan karma. Sekarang aku sangat mempercayai karma itu. Sungguh aku merasa berdosa pada Arin. Sekarang tiba-tiba aku kepikiran padanya. Tapi aku tak sanggup lagi karena selama ini aku telah membohonginya dan dengan kenyataan aku yang mendapatkan batunya sendiri.

Ironi



kini tibalah saatnya kita bertemu dengan sebuah titik,
dimana kita berada dalam bayang-bayang,
yang tiba-tiba menggembung dan meletup,
mengironi kebahagiaan, merenggut petaka,
dan akhirnya memisahkan kita  jauh dan lebih jauh

kini janji itu tak seelok dulu,
termakan habis oleh waktu yang begitu kejam,
dan aku hanya bisa termangu dan menepuk tanganku, sendiri,
menyadari betapa megahnya parasmu,
yang memang membuat para setan-setan mabuk untuk mendekatimu,
sejalan dengan apa yang telah kau terbiasakan.

inilah ironi kita.
sebuah makna yang sederhana namun begitu kejam,
menemui dan menarik kita berdua ke dalam satu zona,
zona merah yang seharusnya kita lewati, jika kau mau.

sadarilah betapa indah anugerahNya untukmu
yang membuatmu utuh dan sempurna,
tingkah laku yang lembut, serta desahan suaramu yang begitu menggoda,
dan aku pun menyadari,
aku telah terjebak kedalam dunia ironi,
sebuah kefanaan yang terlalu singkat nan menyakitkan.

aku bahagia bukan karena itu semua,
tapi aku akan siap menunggu,
ketika dirimu memang lebih bahagia bersama orang lain,
dan aku telah terbiasa dengan hal itu.

[11011]

Cerita Inspirasi: Titipan Terakhir (Bag 4)



        Malam ini aku sangat bahagia. Aku merasa menjadi orang yang paling sempurna di dunia ini karena kehadiran Febi  di dalam hidupku. Bersamanya aku selalu menjalani hari-hari yang indah dan berwarna. Dan yang paling membuatku bahagia adalah karena kutahu dia sangat mencintaiku dengan segala kekuranganku.
Sejenak aku membayangkan kembali suasana tadi sore dimana bibir hangatnya menyentuh dengan bibirku. Sebuah sensasi luar biasa yang telah kurasakan. Badanku bergetar hebat saat kurasakan desahan nafasnya lebih dekat, dan lebih dekat lagi, hingga kami terperangkap ke penjara nafsu yang tak dapat kami elak lagi.
Tiba-tiba handphone-ku berdering.

         “halo sayang? Kamu mau ajak aku jalan lagi? hehe.” sahutku dengan girang ketika kuangkat telfon itu.

         “iya sayang. Aku kangen banget sama kamu. Kamu udah nggak sibuk?” Astaga! Ternyata yang menelfonku Arin. Aku menggurutu dalam hati karena sudah salah mengira, terlebih lagi aku telah salah mengajak orang.

         “ee..e.. ii.. iiya aku udah gak sibuk lagi kok. Kamu mau ketemuan jam berapa?” jawabku terbata-bata.

         “hmmm... besok kalo aku udah pulang les. Kita ketemuannya di cafe favorit kita, bisa kan, sayang?”
Akhirnya aku terpaksa menerima ajakan Arin. Sebenarnya aku sudah tak mau lagi bertemu dengannya tapi ini adalah kesalahanku sendiri, dan aku mengutuk-ngutuk keras diriku.

@

          Dengan langkah yang berat aku memasuki ruangan yang begitu sangat klasik kurasa. Lampu-lampu oranye yang tidak berubah, derik-derik suara pintu yang sudah asing kudengar, beriak air akuarium yang lama tak berirama di telingaku, sebuah ruangan kafe dengan susunan tata ruang yang sangat sederhana namun tetap saja dapat menggelorakan hatiku yang telah menjadi beku. Ya, ini adalah kafe dimana aku dan Arin sering bertemu, memadu kasih dan cinta, tertawa terbahak-bahak ataupun bertengkar hebat. Tapi itu dulu.

          Segera kupesan secangkir Cappucino yang sangat aku suka buatan kafe ini. Sengaja aku datang lebih cepat agar Arin mengira aku juga sangat rindu dengannya. Agar tidak bosan, aku mengalihkan pikiranku dengan mendengarkan musik melalui mp3 player handphone-ku.

          Sekitar 30 menit, sebuah gerakan yang lembut telah melepas earphone dari telingaku. Aku tersentak kaget dan berbalik. Senyum bibirnya menyapaku dengan tenang, dan memelukku serta mencium pipiku dengan mesra. Seorang wanita berkulit putih dan halus yang terbaluti sweater tipis berwarna coklat. Rambutnya panjang dan hitam, matanya cantik tak tercela, tubuhnya anggun dan menawan yang membuat mata lupa cara berpejam. Dialah Arin. Sore ini dia terlihat sangat cantik. Tetapi wajahnya tak semerona dulu lagi. dia sangat pucat.