Sosok Teristimewa


Ibu, Ibu dan Ibu.
Seperti embun di pagi hari yang hangat,
Turun membasahi sekumpulan dedaunan dan rerumputan.
Yang tak pernah memandang siapa mereka,
Begitu tulus dan bijaksana.
                      
Ibu, wanita pejuang sejati.
Beban berat terpikulnya,
Darah dan nyawa taruhannya.
Tak sedikit pun nampak kesah darinya,
Tapi senyum yang selalu mewarnai hari-harinya.


Ibu, wanita terhebat sepanjang masa.
Pemilik naluri beribu harap.
Pengendali alam semesta.
Pendekar tangguh dunia.

Ibu, wanita sosok teristimewa.
Seorang guru besar dari awal hidup seorang manusia.
Yang mengajarkan kasih sayang seutuhnya.
Yang menuliskan keindahan pada setiap kertas putih dan suci
Tanpa noda dan kotoran hina.

Tanpa peran dan kehadirannya, aku bagaikan seorang yang pincang dan tanpa arah. Dialah sosok yang teramat kupuja. Berkat pengorbanannya sehingga aku terlahir dan dapat melihat dunia ini. Berkat kasih sayangnya sehingga dunia terasa dalam pelukan. Berkat ajarannya pulalah sehingga hidup terasa lebih berarti. Tanpa seorang Ibu, kami hanyalah sebatang pohon yang kering tak berbuah. Tanpa dirinya kami bagaikan aliran sungai yang kering dikerontangkan terik matahari. Di setiap malam yang dingin, hanya pelukannyalah yang terasa hangat.
Ini untuk Ibu, sang pembawa kedamaian dalam hidup seorang manusia. Aku berharap, apapun yang terjadi, tetaplah berada di sampingku, menemaniku, dan menjagaku.

Nyanyian Lagu Rindu


Hai, wanita tegar yang telah tertinggal.
Yang kini terasa jauh dan semakin jauh.
Teracuhkan, tanpa tersebut namanya lagi.

Hai, wanita yang bingung hatinya.
Terasa bersalah walau tak demikian.
Terpaksa terkubur, walau bukan maunya.

Aku yakin, di seberang sana yang entah di mana lagi keberadaannya,
Terputar sepercik memori tunggal waktu bersama.
Aku yakin, dulu terasa indah
Aku yakin, sekarang menjadi benci.

Aku tahu,
hari-harimu terisi kekosongan.
Di setiap malammu dipeluk kerinduan.
Ketika melangkah engkau selalu bertanya,
Tentang keindahan dunia yang sekejap menghilang.

Hai, wanita yang terluka hatinya,
Ini bukan mauku untuk memutuskan,
Baru kali ini aku terperangkap dalam simfoni rasa ku,
Rasa yang tak ingin juga aku bakar begitu saja.

Lalu, indahkah langit sore yang kau lihat?
Mendekatlah, dan berbisik padaku.
Beritahukan keindahan yang telah kau dapat setelah ini,
Setelah jiwaku hilang bersama awan hitam.

Hai, wanita yang lembut hatinya.
Aku tahu, kau pasti bisa tegar menghadapi ini semua.
Dan aku yakin, kau adalah wanita yang riang,
Maka kendalikanlah dunia ini sesuka hatimu.
Seperti pelangi yang dapat menciptakan keindahan.

Ini adalah nyanyian lagu rindu ku,
Walau tak terlihat, kau pasti akan mencarinya.



Sebuah Pena Untuk Ayahku


Ini untuk seorang pria yang tegar,
Yang menyempurnakan hari-hariku dengan kelembutannya,
Yang akan selalu memelukku jika aku sedih,
Menyemangati aku  ketika putus asa,
Dan menangis bersamaku ketika bahagia.
Aku, ibarat seekor anak angsa yang ingin terbang, maka dialah yang menjadi kedua sayapku.
Ketika aku berlari, dialah yang menjadi semangatku.
Yang mengajariku arti kedewasaan.
Yang membimbingku dalam meniti langkah.
Yang menasehatiku disaat aku bersalah

Dia seperti orang kebanyakan, tapi hanya dia yang putih hatinya.
Seorang pria pejantan tangguh.
Bahkan matahari pun akan dibelahnya jika ia mau.

Dialah pria terhebat yang pernah kumiliki.
Bahkan aku menjamin takkan ada yang dapat menandinginya.
Seorang pria pemberani, terkuat, dan terlemah.

Lantas siapakah dia?
Dialah Ayahku.
Yang tak pernah mengeluh jika lelah,
Tak pernah kesal jika gagal,
Tak pernah dendam jika dimaki,
Yang selalu tersenyum tegar walau dunia seakan runtuh.
Yang selalu menunduk rendah walaupun teratas.
Yang selalu lembut belaiannya walaupun tersakiti.

Itulah Ayahku,
Ayah idaman setiap anak sedunia
Seorang yang tegas dan berwibawa
Seorang yang lemah tapi berkarisma.

Dialah sosok itu, sosok pahlawan hidupku.
Cahaya mentari pagiku,
Dan seberkas sinar yang mengisi relung gelapku.

Waktu, Waktu, dan Segala Jawaban Waktu

          Waktu akan terus berlari. Tak kenal lelah. Tak kenal haus dan lapar. Tak henti-hentinya bergerak bahkan disaat kau tertidur pulas. Dia adalah hakim sekaligus penghukum bagi siapa saja yang mengacuhkan kehadirannya. Setiap saat dia mengintai, mengawasi, dan bersiaga di belakangmu. Terkadang dia memberitahumu tentang janji-janjinya, tapi tak sedikit juga ia langsung menghukummu agar kau tahu kesalahanmu. Dia tak tampak, tak kasat mata, tak dapat kau sentuh, tak dapat kau raba. Jadi di mana kau dapat menemukannya? Tenanglah kawan, dia selalu bersemayam dalam fikiran orang-orang yang berfikir.

          Jujurlah saja wahai para pembohong kelas teri. Yang selalu berusaha membohongi waktu, seakan dia tak berakal. Benar saja, dia sangat tak berakal! Tahukah kau? Waktu tak pernah bisa kau lucuti pakaiannya. Sebagaimana pun kuatnya kalian. Sebesar apapun tenaga kalian. Dan sepintar apapun otak kalian. Waktu tak memandang tinggi rendahnya IQ (intelligence quotient) seseorang. Dia tak mengenal Einstein sekalipun. Baginya, siapapun yang bersalah kepadanya, dia akan membayarnya setimpal dengan apa yang diperbuatnya. Ya, waktu selalu berlaku adil. Menyatakan kemaha-adilan-Nya, sang pencipta dari segala pencipta. 

Lantas mengapa kali ini aku membahas tentang WAKTU?

Lihatlah waktu!
          Ini untuk seseorang yang aku teramat sayangi. Dia yang kini kuanggap sebagai pelengkap hidup dan semangatku. Seorang pendamping terhebat dalam pengejaran cita-citaku. Dia berparas anggun, yang bahkan lelaki manapun tak akan berkedip untuk memujanya. Segala tingkah laku dan sikap serta sifatnya mencerminkan pribadi yang kuat dan menggemaskan. Siapa yang tak akan mempertahankannya?
          Tetapi, aku adalah pribadi yang menomorsatukan hak asasi. Apapun yang dia senangi dan dia anggap yang terbaik baginya, maka aku pun mempersilahkan nya. Apapun yang ingin dia lakukan, lakukanlah! Tetapi aku masih menyimpan komitmen itu. Kalimat-kalimat yang dia ucapkan, lalu kutulis dalam selembar kain putih di dalam hatiku dan menyimpannya dalam-dalam. Ya, ini hanyalah sebuah komitmen dasar. Komitmen murah. Komitmen bukan janji. Dan komitmen anak-anak ingusan.

          Karena waktu. Atau karena kau tak mengakui keberadaan waktu, maka kau mempermainkannya. Memang tak mudah mempertahankan ucapan seperti membalikkan telapak tangan. Karena waktu akan terus berusaha dan membuka kedok aslimu. Siapakah kau sebenarnya. Dan bagaimanakah wujudmu sebenarnya.

          Acuhkan saja aku! Tinggalkan! Aku telah terbiasa dalam keadaan seperti ini. Yang selalu bahagia di atas kebohongan. Kebohongan terlicik yang selalu aku santap dan cicipi. Bagiku, kau adalah manusia yang mempunyai hak-hak tinggi dibandingkan dengan keberadaanku. Kau berhak atas segalanya. Dan karena kebijaksanaan waktu kepadaku, dia menunjukkan apa yang terbaik bagiku, secara perlahan-lahan, secara diam-diam. 

          Namun tidakkah kau takut kepada ancaman waktu? ataukah tidakkah kau kasihan melihat korbanmu seperti ini sekarang? Jika memang yang kau perbuat selama ini adalah yang benar dan baik untukmu, maka lebih baik aku mundur dari kehidupanmu.

          Karena waktu, sebab waktu, oleh waktu dan segala jawaban waktu. Aku percaya bahwa waktu akan terus menolongku. Terima kasih karena secara perlahan-lahan waktu telah membuka kedokmu. Maka aku menganggap bahwa ini adalah kebijaksanaan waktu yang selalu memberiku yang terbaik dan selalu memisahkanku kepada apa yang tak selayaknya aku perjuangkan.


          Dan karena kesempurnaan ini, aku berikhtiar dan bertawakkal kepadamu, ya Allah SWT, sang pencipta waktu.

Cinta (Di Balik Cermin)


CERMIN! Satu benda misteri dalam alam pikirku. Yang membuat duniaku penuh dengan tanya.
Apa yang dilakukan oleh bayangan diriku disaat aku berbalik dari cermin itu ? Apakah ia tetap mengikutiku untuk berbalik ? Atau malah tetap diam memandangi punggungku ? Aku tak tahu !
Apakah cermin itu adalah benda datar atau malah menjadi sebuah ruangan yang begitu luas ? Ini masih menjadi pertanyaan yang besar.

Sekarang aku bertanya kepadamu, pernahkah kau bercermin ? Apa yang kau lihat ? Bayanganmu ? Itu sudah pasti. Tapi semua itu karena kau melihatnya dan berhadapan dengannya. Lantas apa yang terjadi jika kau berbalik membelakanginya sebentar saja ? Apakah kau bisa melihat bahwa di sana masih ada bayangan dirimu ? Pasti kau tidak tahu dan tak akan pernah tau.
Itulah yang menimpaku saat ini.

DI BALIK CERMIN !

Sampai saat ini aku masih percaya bahwa dia adalah kekasihku. Aku percaya bahwa hatinya hanya untukku. Karena setiap melihatnya, aku bahagia. Dia yang selalu memberiku kecupan yang sangat manis tepat di bibirku dan mendekapku penuh dengan kasih sayang. Setiap perkataannya terdengar sangat romantis di telingaku hingga kurasa dunia ini hanya milikku berdua dengannya. Setiap aku duduk dan bersandar di bahunya, dengan tulus ia membelai rambutku. Senyumnya, canda tawanya, ocehannya, gerutunya, ataupun sikap dan sifatnya selalu kutangkap bahwa semua itu hanya untukku. Tapi itu semua terjadi di hadapanku.

Dan saat ini, dia berada jauh dariku. Hanya suaranya yang menemaniku akhir-akhir ini. Dalam ucapannya masih selalu terkesan bahwa ia masih mencintai dan menyayangiku setulus hati. Tapi aku tak begitu percaya, karena diriku selalu dihantui oleh perbuatannya dahulu. Dulu, tanpa banyak fikir dia memutuskan seorang lelaki yang sudah menjalani hubungan bersamanya selama dua tahun untuk berpadu kasih denganku. Segampang itukah kau berpaling dan meninggalkannya ? Ke mana jalinan benang-benang yang kau rajut bersamanya dulu ? Hanya dengan beberapa hari semuanya menghilang, kau telah membakarnya mungkin ? Entahlah tapi hal itu yang membuatku amat teramat takut. Kuakui bahwa hubungan kita masih belum cukup lama. Pastilah dengan sangat gampang kau dapat menghilangkannya juga. karena dua tahun pun kau binasakan dengan mudahnya, lantas sangat mudah bagimu untuk melakukan hal yang sama terhadap hubungan yang baru berjalan tiga bulan ini.
Sekarang, kau berada di balik cerminku. Aku tak tahu apa yang telah, sedang atau akan kau lakukan di belakangku.
Tapi ingatlah bahwa aku tahu cermin itu punya kelemahan. Inginkah kau tahu ? Aku akan menaruh cermin di depan cermin ini !



Saya dan Penganut Monoteisme

Apakah kau pernah berfikir bagaimana cara mematahkan sifat-sifat dan pemikiran-pemikiran yang sangat monoton ?
Ibarat seseorang yang berdiri membelakangi api unggun di dalam gua yang gelap dan hanya melihat bayangan dirinya sendiri.
Mereka yang takut pada kekejaman dunia. Yang takut terhadap kebrengsekan waktu. Dan terlebih mereka yang takut pada dirinya sendiri.
Mereka hanya meyakini terhadap hal yang pasti. yang penting pasti dan yang jelas sudah pasti.
bagaimana yang belum pasti ?
ya, itulah yang terjadi. Mereka seakan menertawakanku yang mencoba keluar dari ruangan yang gelap ini.
Aku, seorang diri diantara berjuta-juta orang yang saling berebut kursi nyata (pasti), berusaha mematahkan segala asumsi-asumsi pasti yang mereka miliki.
Dan aku, masih tetap pada pendirianku. Mereka semakin terbahak dan cekikikan oleh tingkah ku.
Apakah aku melucu ? apa ini lucu ? bahkan terlalu lucu ?
sebenarnya atas dasar apa mereka menertawakanku ? apakah karena aku yang telah keluar dari akal mereka ? tidak masuk di akal begitu ?
Aku akui mereka telah lebih banyak 'makan garam'. Tapi menurutmu siapakah yang kekanak-kanakan ?
mereka hanya ingin merasakan yang manis.
Oh Tuhan, siapakah yang salah ?
Aku sangat yakin bahwa hanya akal merekalah yang tidak mengerti betapa inginnya aku dan dia maju, melangkah dan berlari hingga membelah matahari.
Yang akan merasakan hidup yang sesungguhnya.
Yang tak ingin diperalat oleh dunia.
Aku yakin, masa depanku ada di tanganku yang sekarang sedang memilih.
Aku yakin, jawaban hari tuaku ada pada kakiku yang melangkah pada jalan yang kuyakini.
Sekarang, aku dan dia satu. Tak mungkin terpecah apalagi terbelah.
Hanya dialah yang membuatku bisa bertahan sampai detik ini. karena dialah nyawa hidupku, segala cambukan waktu yang menamparku untuk terus berlari.

Tenang sayangku. Aku yakin kita bisa mengubah semuanya.
Di sinilah kita bertindak, bermodalkan asa dan raga tanpa memedulikan segala ancaman waktu.
Saatnya kita akan mulai terbiasa terjungkal dan terbalik, berpeluh keringat yang tak kunjung berhenti.
percayalah, waktu adalah hakim yang maha adil.


*Lebih baik terus mencoba daripada tidak melakukan apa-apa. Karena orang yang tidak pernah mengalami kejatuhan adalah orang yang tak pernah melakukan apa-apa.

Waktu yang Berbicara, Dialah yang Bijaksana


Kau bertanya, "apa yang kau rasakan ketika kau menutup matamu ketika langit sore ?"
Aku merasakan kebebasan, kebebasan yang mungkin hanya aku yang dapat merasakannya.
Namun kau mengelak dan berkata, "mengapa aku tidak ? Yang aku rasakan hanya semakin hampa dan sepi !"
Karena kau tak dapat merasakan kehadirannya.
Dan kau tetap pada pendirianmu. Keras ! "Aku merasakannya ! Tapi mengapa mereka hanya semakin lirih menerpaku ?".
Mungkin karena kau tak dapat menangkapnya.
Kau semakin penasaran atas jawabanku. Lantas kau bertanya lagi, "Apakah kau bisa menangkapnya ? Aku rasa tidak !".
Lalu hanya kujawab sekedarnya bahwa aku dapat menangkap keceriaannya.
Kau tetap bersikeras mempertahankan segala asumsi mu bahwa tak ada siapapun yang dapat melakukan hal itu, dan kau pun meminta pembuktian dari perkataanku.
Lalu kujawab, "hiruplah udara segar di sekelilingmu dan tahanlah agar mereka mengaliri saraf-sarafmu. Kemudian pejamkan matamu dan rasakan mereka membelai setiap sisi sepi mu. Tersenyumlah sejenak dan keluarkan musuh mereka secara perlahan-lahan melewati rongga-rongga tenggorokanmu hingga mereka lepas dan kau pun merasa semakin sejuk. Bila kau masih belum dapat menangkapnya, maka ulangilah !"

Berselang beberapa saat kau bertanya lagi, "kesempurnaan dalam bentuk apa yang kau cari pada wanita lain di luar sana ?"

Aku hanya bisa menjawab karena dia telah memiliki jiwanya. Dan dia lebih bangga menjadi dirinya.
Karena dia lebih memiliki prinsip hidup yang nyata, yang tak dapat digoyahkan oleh siapapun termasuk aku sendiri !
Apakah kau tak menyetujuinya ? Aku hanya bisa berkata bahwa kau belum mampu menjadi dirimu. karena kedewasaan alam fikiranmu belum terlalu matang.
Kau dulu terlalu lama kutunggu, hingga jiwa ini lelah dan telah terbiasa tak mendengar kabar darimu.
Ini adalah pembelajaran bagimu bahwa waktu tak akan bisa menunggu. Dan dia akan mengubah semuanya sesuai dengan hukum yang telah dipegangnya.

Waktu telah ber bijaksana denganku, dan aku pun ingin tetap berjalan beriringan bersamanya.